Mantan Dirjen Binapenta Kemenaker Bungkam Usai Diperiksa KPK Terkait Kasus RPTKA

Mantan Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Dirjen Binapenta dan PKK) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Haryanto, memilih untuk tidak memberikan komentar usai menjalani pemeriksaan intensif selama 9,5 jam di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (23/5/2025). Pemeriksaan ini terkait dengan dugaan korupsi dalam pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di lingkungan Kemenaker.

Usai keluar dari Gedung Merah Putih KPK, Haryanto terlihat menutupi wajahnya dari sorotan kamera wartawan. Ia enggan menjawab pertanyaan yang diajukan terkait materi pemeriksaan maupun dugaan keterlibatannya dalam praktik pemerasan terkait izin Tenaga Kerja Asing (TKA). Sambil bergegas menuju mobil yang telah menunggunya, Haryanto hanya mengucapkan terima kasih kepada awak media.

Selain Haryanto, KPK juga memanggil dan memeriksa dua saksi lainnya, yaitu Wisnu Pramono yang menjabat sebagai Direktur PPTKA Kemenaker periode 2017-2019, serta Devi Angraeni yang saat ini menjabat sebagai Direktur Pengendalian Penggunaan TKA (PPTKA) Kemenaker periode 2024-2025. Pemeriksaan terhadap ketiganya dilakukan untuk mendalami kasus korupsi RPTKA yang sedang ditangani KPK. Haryanto sendiri tiba di Gedung KPK pada pukul 08.47 WIB dan baru meninggalkan lokasi sekitar pukul 18.20 WIB.

KPK telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka dalam kasus ini. Meskipun identitas para tersangka belum diumumkan secara resmi, Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, mengungkapkan bahwa kasus ini bermula dari adanya dugaan pemerasan yang dilakukan oleh oknum pejabat Kemenaker terhadap calon pekerja asing yang ingin bekerja di Indonesia. Pemerasan ini diduga dilakukan oleh oknum pejabat di Direktorat Jenderal Binapenta dan PKK.

"Oknum Kemenaker pada Dirjen Binapenta: memungut/memaksa seseorang memberikan sesuatu Pasal 12e dan atau menerima gratifikasi Pasal 12B terhadap para Calon Kerja Asing yang akan bekerja di Indonesia," tegas Asep. Kasus ini menjadi sorotan karena mencoreng citra Kemenaker dan merugikan para calon pekerja asing yang seharusnya mendapatkan pelayanan yang transparan dan profesional.