Sidang Korupsi: Mantan Kader Ungkap Dominasi Hasto Kristiyanto dalam Pengurusan PAW Harun Masiku

Pengakuan Mantan Kader PDIP: Otoritas Hasto Kristiyanto dalam Kasus Harun Masiku Terungkap di Persidangan

Dalam persidangan kasus korupsi yang melibatkan Hasto Kristiyanto, fakta-fakta baru terus bermunculan. Seorang mantan kader PDIP, Saeful Bahri, memberikan kesaksian yang menyoroti peran sentral Sekretaris Jenderal PDIP tersebut dalam proses pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR yang melibatkan Harun Masiku, buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Hasto Kristiyanto menghadapi dakwaan berlapis, termasuk dugaan suap bersama Harun Masiku kepada mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, serta tuduhan menghalangi penyidikan terkait pencarian Harun Masiku oleh KPK.

Dalam sidang yang berlangsung pada Kamis, 22 Mei 2025, Saeful Bahri mengungkapkan secara detail keterlibatan Hasto dalam proses PAW Harun Masiku. Bahkan, Saeful menggambarkan dirinya dan kader lain sebagai 'bawahan Hasto' dalam konteks pengurusan tersebut.

Hakim Mendalami Surat Tugas Pengurusan PAW

Selain pertanyaan dari jaksa penuntut umum, hakim juga mencecar Saeful terkait surat tugas dari partai yang menjadi dasar bantuannya dalam pengurusan PAW Harun Masiku.

"Saudara saksi, dalam BAP Saudara Nomor 42, disebutkan bahwa Hasto menyatakan pengurusan Harun Masiku ini adalah perintah dari Partai PDI Perjuangan. Namun, Saudara sendiri pernah menyatakan tidak mendapatkan surat tugas resmi dari partai. Jika ini benar-benar perintah resmi, mengapa Saudara tidak memiliki surat tugas?" tanya hakim.

Saeful menjawab, "Saat itu, tidak ada surat tugas khusus untuk hal ini."

Hakim terus menggali informasi mengenai perintah Hasto terkait PAW Harun Masiku, mempertanyakan apakah perintah tersebut bersifat pribadi atau merupakan keputusan partai.

Saeful menjelaskan bahwa ia memaknai perintah Hasto sebagai implementasi keputusan partai. Sebagai kader, ia merasa terikat dengan ketetapan yang telah diputuskan oleh partai.

"Jika tidak ada surat tugas, apakah perintah dari terdakwa ini merupakan perintah pribadi atau perintah resmi dari partai?" tanya hakim.

"Keputusan partai kami maknai sebagai perintah. Setiap keputusan partai kami maknai sebagai perintah," jawab Saeful.

"Dalam BAP Saudara nomor 41, Saudara menyatakan mendapat perintah pengurusan Harun Masiku dari Hasto Kristiyanto, dan sebagai staf, Saudara merasa wajib lapor kepada Sekjen PDI Perjuangan. Mengapa Saudara merasa sebagai staf Hasto, padahal dalam struktur resmi partai, Saudara bukan staf langsung Hasto? Apakah Hasto pernah secara eksplisit mengatakan bahwa Saudara adalah bawahannya dalam kaitannya mengurus Harun Masiku?" tanya hakim lebih lanjut.

Saeful mengakui bahwa ia bukan bagian dari staf formal Hasto. Namun, sebagai kader PDIP, ia merasa sebagai bawahan Hasto yang wajib mematuhi perintah Sekjen.

"Kami merasa semua bawahan Hasto. Saya menjalankan tugas supporting unit kesekretariatan, seperti staf. Meskipun tidak ada SK resmi dan kami tidak digaji oleh partai, kami tetap merasa bertanggung jawab untuk melaporkan setiap perkembangan kepada beliau," jelas Saeful.

Hakim kembali bertanya, "Jika Saudara bukan staf formal, mengapa setiap aktivitas harus dilaporkan?"

"Semuanya wajib lapor, Yang Mulia," jawab Saeful.

Dakwaan terhadap Hasto

Hasto didakwa karena diduga menghalangi penyidikan kasus suap yang menjerat Harun Masiku. Ia dituduh memerintahkan Harun Masiku untuk merendam handphone agar tidak terlacak oleh KPK saat operasi tangkap tangan (OTT) pada 8 Januari 2020. Hasto juga diduga memerintahkan Harun Masiku untuk selalu berada di kantor DPP PDIP agar tidak terdeteksi oleh KPK.

Selain itu, Hasto juga didakwa memerintahkan anak buahnya untuk menenggelamkan ponsel menjelang pemeriksaan oleh KPK. Tindakan-tindakan ini diduga menyebabkan Harun Masiku masih belum tertangkap hingga saat ini.

Jaksa juga mendakwa Hasto menyuap mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan sebesar Rp 600 juta. Suap tersebut diduga diberikan agar Wahyu Setiawan membantu menetapkan Harun Masiku sebagai pengganti antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024.