Ancaman Dissenting Opinion dan Suap Rp 3,6 Miliar dalam Kasus Vonis Bebas Ronald Tannur
Ancaman Dissenting Opinion dan Suap Rp 3,6 Miliar dalam Kasus Vonis Bebas Ronald Tannur
Sidang kasus suap yang menjerat tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul, memasuki babak baru dengan terungkapnya keterangan mengejutkan dari Erintuah Damanik. Sebagai Ketua Majelis Hakim yang menangani perkara Gregorius Ronald Tannur, Erintuah mengaku sempat mengancam akan membuat dissenting opinion—pendapat berbeda—terkait vonis bebas yang dijatuhkan kepada Tannur. Ancaman tersebut, menurut keterangan Erintuah saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin, 3 Maret 2025, berbuah suap sebesar SGD 48.000 (sekitar Rp 500 juta). Ketiga hakim tersebut didakwa menerima suap total Rp 1 miliar dan SGD 308.000 (sekitar Rp 3,6 miliar) terkait vonis bebas Ronald Tannur.
Erintuah menjelaskan bahwa ancaman dissenting opinion dilontarkan karena ia merasa dipermainkan oleh pihak yang terlibat dalam kasus suap tersebut. Perasaan tersebut muncul setelah ia menyadari adanya dugaan pemberian uang kepada dua hakim anggota lainnya, Mangapul dan Heru, sebelum ia sendiri menerima suap. "Saya merasa dipermainkan," ujar Erintuah di hadapan Jaksa Penuntut Umum. Ia mengungkapkan bahwa Lisa Rachmat, pengacara yang berperan dalam mengatur suap tersebut, telah menghubungi Erintuah setelah mendengar ancaman tersebut. Pertemuan pada 29 Juni 2024, menghasilkan penyerahan SGD 48.000 kepada Erintuah, yang disampaikan Lisa sebagai bagian untuk dirinya semata, karena Mangapul dan Heru telah menerima bagian mereka sebelumnya. Jumlah yang diterima oleh Mangapul dan Heru tidak dijelaskan secara rinci oleh Erintuah, namun ia memastikan bahwa terdapat tambahan uang di luar SGD 140.000 yang dibagi rata antara ketiga hakim tersebut.
Jaksa pun menggali lebih dalam terkait maksud dari ancaman dissenting opinion. Erintuah menegaskan bahwa ancaman tersebut merupakan strategi untuk mengembalikan uang suap dan bukan untuk mengubah keputusan musyawarah hakim yang telah menyepakati vonis bebas. Ia menjelaskan, "Yang penting saya katakan, 'dissenting, saya kembalikan uangnya deh', gitu. 'Oh jangan Pak' kata dia (Lisa), 'kita ketemu'. Setelah ketemu akhirnya tanggal 29 Juni, setelah tuntutan." Pernyataan ini menguatkan dugaan bahwa uang suap telah mengalir sebelum proses pertimbangan vonis selesai.
Kasus ini bermula dari upaya Meirizka Widjaja, ibu Ronald Tannur, untuk membebaskan anaknya dari jeratan hukum atas kematian kekasihnya, Dini Sera Afrianti. Meirizka kemudian melibatkan pengacara Lisa Rachmat, yang selanjutnya menghubungi mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar untuk mencari hakim yang mau memberikan vonis bebas. Setelah rangkaian suap terselesaikan, Ronald Tannur dinyatakan bebas. Namun, keadilan akhirnya ditegakkan setelah Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi. Mahkamah Agung mengabulkan kasasi tersebut, dan Ronald Tannur akhirnya divonis 5 tahun penjara.
Persidangan ini menjadi sorotan publik karena mengungkap praktik korupsi yang terjadi di lembaga peradilan. Keterangan Erintuah Damanik, termasuk ancaman dissenting opinion dan penerimaan uang suap, membuka tabir gelap dalam proses peradilan kasus Ronald Tannur dan menimbulkan pertanyaan serius mengenai integritas sistem peradilan di Indonesia. Proses hukum selanjutnya akan menentukan hukuman bagi para terdakwa, termasuk tiga hakim PN Surabaya yang terlibat dalam skandal ini. Kasus ini juga mempertegas pentingnya upaya pemberantasan korupsi di semua sektor, termasuk lembaga peradilan, demi penegakan hukum yang adil dan terpercaya.