Studi Ungkap Peran Kromosom Y dalam Perbedaan Tinggi Badan Pria dan Wanita
Perbedaan tinggi badan antara pria dan wanita merupakan salah satu ciri fisik yang paling mencolok. Secara umum, pria memiliki tinggi badan rata-rata sekitar 13 sentimeter lebih tinggi dibandingkan wanita. Faktor hormonal, terutama hormon seks, memainkan peran penting dalam fenomena ini, yang dikenal sebagai dimorfisme seksual. Namun, peran hormon bukanlah satu-satunya penentu perbedaan tinggi badan.
Selama bertahun-tahun, para ilmuwan telah menduga bahwa faktor genetik juga berkontribusi signifikan terhadap perbedaan tinggi badan antara pria dan wanita. Meskipun demikian, mekanisme biologis spesifik yang mendasari dimorfisme seksual yang tidak bergantung pada hormon masih belum sepenuhnya dipahami. Sebuah studi baru yang diterbitkan dalam jurnal PNAS (Proceedings of the National Academy of Sciences) pada tanggal 19 Mei 2025, oleh tim peneliti dari Amerika Serikat, memberikan wawasan baru mengenai hal ini.
Studi ini menganalisis data dari 928.605 peserta dewasa, termasuk 1.225 individu dengan aneuploidi kromosom seks (SCA). Aneuploidi kromosom seks adalah kondisi genetik di mana individu memiliki jumlah kromosom X atau Y yang tidak normal, baik berlebih maupun kurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan kromosom Y tambahan memiliki dampak yang lebih besar pada peningkatan tinggi badan dibandingkan dengan kromosom X tambahan, bahkan setelah mempertimbangkan pengaruh hormon seks pria.
Kromosom seks X dan Y berbeda secara signifikan dalam struktur genetiknya. Meskipun demikian, keduanya mengandung gen yang disebut SHOX, yang terletak di wilayah pseudoautosomal 1 (PAR1). Wilayah PAR1 adalah bagian kecil di mana kromosom X dan Y memiliki urutan gen yang sama dan berfungsi seperti kromosom biasa. Gen SHOX berperan penting dalam memengaruhi tinggi badan seseorang.
Pada wanita, sebagian besar kromosom X dinonaktifkan, kecuali wilayah PAR1, yang lolos dari inaktivasi X. Akibatnya, baik pria maupun wanita biasanya memiliki dua salinan gen PAR1 yang aktif. Penelitian ini menunjukkan bahwa gen SHOX dan gen lain di wilayah PAR1 memiliki tingkat ekspresi yang lebih rendah pada kromosom X yang tidak aktif (Xi), yang menunjukkan bahwa gen-gen tersebut hanya terlindungi sebagian dari inaktivasi.
Inaktivasi sebagian ini dapat menjelaskan mengapa pria (46,XY) cenderung memiliki tingkat SHOX yang lebih tinggi karena diekspresikan dalam kromosom X dan Y, dibandingkan dengan wanita (46,XX) dengan dua kromosom X. Perbedaan dalam ekspresi gen ini terutama terlihat pada jaringan muskuloskeletal, sehingga dapat menjelaskan perbedaan jenis kelamin dalam pertumbuhan dan tinggi badan.
Para peneliti mengumpulkan data dari tiga bank genetika besar: MyCode dan All of Us dari Amerika Serikat, serta Bank Bio Inggris. Mereka membandingkan tinggi badan 928.605 peserta dewasa, termasuk mereka yang memiliki SCA (45,X; 47,XXY; 47,XYY; 47,XXX). Regresi linier multivariat, sebuah alat analisis data statistik, digunakan untuk memodelkan efek kromosom X yang tidak aktif, kromosom Y, hormon seks pria, dan fitur klinis yang terkait dengan kelainan genetik seperti sindrom Klinefelter dan Turner.
Temuan studi ini menunjukkan bahwa kontribusi kromosom Y terhadap tinggi badan lebih besar daripada kromosom X kedua, terlepas dari perbedaan hormonal. Kehadiran kromosom Y ekstra pada pria dapat menjelaskan hingga 22,6% dari perbedaan tinggi badan rata-rata antara pria dan wanita. Selain itu, varian SHOX patogenik ditemukan mengurangi tinggi badan secara lebih signifikan pada pria daripada pada wanita.
Implikasi dari penelitian ini sangat luas. Memahami dasar genetik dimorfisme seks tidak hanya penting untuk sifat-sifat seperti tinggi badan, tetapi juga untuk mengungkap mekanisme biologis di balik perbedaan berdasarkan jenis kelamin dalam terjadinya kondisi autoimun, neuropsikiatri, dan kondisi medis lainnya. Dengan memahami peran kromosom Y dan gen SHOX, para ilmuwan dapat mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan yang mempengaruhi pria dan wanita secara berbeda.
- Kromosom Y memiliki dampak yang lebih besar pada peningkatan tinggi badan dibandingkan dengan kromosom X tambahan.
- Gen SHOX dan gen lain di wilayah PAR1 memiliki tingkat ekspresi yang lebih rendah pada kromosom X yang tidak aktif (Xi),
- Memahami dasar genetik dimorfisme seks tidak hanya penting untuk sifat-sifat seperti tinggi badan, tetapi juga untuk mengungkap mekanisme biologis di balik perbedaan berdasarkan jenis kelamin dalam terjadinya kondisi autoimun, neuropsikiatri, dan kondisi medis lainnya.