Polemik Pernyataan Ketua MA: Hakim Bukan Malaikat, Jangan Jadi Setan

Pernyataan Ketua Mahkamah Agung (MA), Sunarto, mengenai posisi hakim yang ideal, menuai beragam reaksi di kalangan praktisi hukum dan anggota parlemen. Dalam pengarahannya pada acara pembinaan di lingkungan MA, Sunarto menyampaikan bahwa hakim tidak mungkin menjadi malaikat, namun juga tidak seharusnya menjadi 'setan'. Analoginya ini memicu perdebatan tentang standar etika dan integritas yang diharapkan dari seorang hakim.

Sunarto menekankan bahwa hakim adalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Namun, ia mengingatkan agar kesalahan tersebut tidak menjadi kebiasaan atau bahkan kebutuhan. Di era digital ini, Sunarto juga menyoroti pentingnya kesadaran hakim akan pengawasan publik yang semakin ketat. Ia mengibaratkan kehidupan hakim seperti di dalam akuarium, di mana setiap gerak-gerik dapat dengan mudah terpantau. Transaksi mencurigakan, kunjungan ke tempat hiburan, semuanya berpotensi terungkap dan mencoreng citra lembaga peradilan.

Anggota Komisi III DPR, Rano, menilai pernyataan Sunarto sebagai bentuk kejujuran dan keberanian dalam menempatkan persoalan secara realistis. Ia menekankan pentingnya untuk tidak melakukan generalisasi terhadap lembaga peradilan akibat ulah segelintir oknum. Menurutnya, banyak hakim di daerah yang bekerja dengan integritas dan profesionalisme tinggi, meski dalam tekanan dan minim sorotan. Rano mengakui bahwa oknum bermasalah memang ada, sehingga pembinaan dan pengawasan perlu terus diperkuat. Komisi III DPR mendukung penuh upaya pembenahan sistem pengawasan dan pembinaan integritas di MA. Ia juga mengingatkan perlunya melindungi hakim-hakim yang bekerja dengan baik dari stigma negatif.

Sebaliknya, Hinca, juga anggota Komisi III DPR, menyampaikan ketidaksepakatannya terhadap analogi yang digunakan Sunarto. Ia berpendapat bahwa menggeser standar hakim dari representasi Ilahi menjadi sekadar 'jangan jadi setan' dapat mereduksi makna dan tanggung jawab seorang hakim. Hinca mengibaratkan hakim sebagai lilin di ruang gelap, yang harus tetap menjadi sumber cahaya meski di tengah kegelapan. Ia bahkan menegaskan bahwa tidak ada yang namanya 'oknum hakim'. Jika seorang hakim melenceng, ia bukan lagi hakim, karena kata 'hakim' mengandaikan kesatuan utuh antara manusia, nilai, dan mandat ketuhanan.

Meski memahami kekecewaan Ketua MA terhadap perilaku sebagian hakim, Hinca meminta Sunarto untuk berhati-hati dalam memberikan toleransi baru melalui narasi bahwa hakim bukanlah malaikat. Ia khawatir kalimat tersebut dapat menjadi jalan pintas psikologis yang melonggarkan tali moral para hakim. Alih-alih menatap tinggi, hakim justru dididik untuk menunduk dan berdamai dengan kelemahan manusiawinya. Takhta wakil Tuhan pun pelan-pelan kehilangan aura sakralnya.

Sementara itu, Adies, anggota Komisi III DPR lainnya, justru mendukung analogi yang disampaikan Ketua MA. Ia menyatakan bahwa hakim adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan godaan. Pihak-pihak yang berperkara akan menghalalkan segala cara untuk memenangkan perkara, sehingga hakim perlu terus memperbaiki diri dan tidak berperilaku seperti 'setan'. Adies berharap para hakim memiliki komitmen untuk menjadi wakil Tuhan di bumi dan mengapresiasi upaya Ketua MA dalam membenahi lembaga peradilan agar bersih dan memberikan keadilan tanpa pandang bulu.