MA Beri Peringatan Keras kepada Hakim: Hindari Gaya Hidup Mewah dan Praktik Korupsi

Mahkamah Agung (MA) baru-baru ini menggelar pembinaan intensif yang ditujukan kepada para ketua, wakil ketua, serta hakim dari Pengadilan Umum tingkat pertama dan banding di seluruh wilayah Daerah Khusus Jakarta. Pembinaan ini menjadi krusial mengingat maraknya kasus penangkapan hakim oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam beberapa waktu terakhir.

Dalam acara tersebut, Ketua MA, Sunarto, menyampaikan teguran keras terkait gaya hidup hedonis yang dipertontonkan oleh sebagian hakim. Ia menyoroti penggunaan barang-barang mewah seperti tas bermerek Louis Vuitton dan Bally, hingga kepemilikan mobil mewah seperti Porsche, yang dinilai tidak sesuai dengan pendapatan seorang hakim.

"Gajinya Rp 27 juta, Rp 23 juta, pakai LV, pakai Bally, pakai (mobil) Porsche, enggak malu?" ujar Sunarto di hadapan para hakim, menggarisbawahi ketidaksesuaian antara pendapatan dan gaya hidup mewah.

Sunarto mengingatkan bahwa publik mengetahui dengan baik berapa pendapatan resmi seorang hakim, serta harga barang-barang mewah yang mereka gunakan. Ia mempertanyakan rasa malu dan takut para hakim tersebut, tidak hanya kepada masyarakat tetapi juga kepada Tuhan.

"Ya, kalau enggak malu, apa tidak takut sama Tuhan? Minimal takut sama wartawan. Difoto arlojinya Rp 1 miliar, apa tidak malu saudara-saudara?" tanyanya retoris.

Lebih lanjut, Sunarto menekankan bahwa kepemilikan barang mewah oleh hakim hanya dapat dibenarkan jika berasal dari warisan atau kemenangan lotre, bukan dari sumber yang mencurigakan.

Selain menyoroti gaya hidup mewah, Sunarto juga mengingatkan para hakim untuk menjauhi praktik-praktik korupsi. Ia mengibaratkan hakim sebagai manusia yang dihadapkan pada pilihan antara menjadi malaikat atau setan. Meskipun tidak semua hakim diharapkan menjadi malaikat, Sunarto menegaskan bahwa menjadi setan bukanlah pilihan.

"Memang kita semua hakim tidak bisa dipikir menjadi malaikat semua. Hakim juga manusia, tapi hakim jangan jadi setan semua," tegasnya.

Sunarto menjelaskan bahwa hidup yang dipenuhi dengan kemaksiatan dan kesalahan akan membawa ketidaktenangan. Sebaliknya, berbuat kebaikan akan memberikan kedamaian batin. Ia menekankan bahwa meskipun manusia tempatnya salah, kesalahan tidak boleh dibudayakan dan menjadi kebutuhan.

Pada akhirnya, Sunarto menyerahkan pilihan kepada masing-masing hakim untuk memilih jalan kebaikan atau kerusakan. Namun, ia mengingatkan bahwa konsekuensi dari pilihan yang salah adalah sanksi dari Mahkamah Agung atau tindakan hukum dari penegak hukum.

"Kalau saudara tidak memilih itu, pilihannya semua. Disanksi oleh Mahkamah Agung atau diambil oleh penegak hukum!" kata Sunarto.

Sunarto mengungkapkan kekhawatirannya terhadap krisis kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan akibat praktik korupsi yang dilakukan oleh oknum pegawai dan hakim. Ia menyatakan bahwa MA memiliki data dan profil terkait aparat penegak hukum yang terlibat dalam praktik-praktik tersebut.

Sunarto juga menyinggung dampak psikologis bagi hakim yang melanggar kode etik. Ia menyebutkan bahwa hakim tersebut akan mengalami stres, gangguan kecemasan, dan ketidaktenangan dalam hidupnya.

"Kalau Bapak Ibu sekalian meninggalkan kode etik, hidupnya tidak akan tenang. Ada polisi lewat, ada jaksa lewat, ada mobil lewat, mobil Kijang, 'Oh KPK mau datang.' Enggak tenang," ujarnya.

Sunarto juga menyoroti kemajuan teknologi pengintaian yang dimiliki oleh Kejaksaan Agung, yang memungkinkan penyadapan dan penyalinan data dari ponsel pintar dalam waktu singkat.

"Ngambil data Bapak Ibu sekalian gampang. Alat diarahkan, seluruh isi konten HP Bapak Ibu sekalian, pindah dalam waktu yang singkat. Ditaruh di tas, pindah," jelasnya.

Ia menekankan bahwa hakim tidak lagi leluasa menikmati kebebasan yang melanggar norma, dan selama hakim mengikuti kode etik dan pedoman perilaku yang berlaku, pemantauan dari penegak hukum tidak akan menjadi masalah.

"Tapi begitu chatting masalah perkara, deal-deal-an, hidup saudara menjadi tidak tenang," tutur Sunarto.

Sunarto menegaskan bahwa MA tidak akan menunggu Undang-Undang Perampasan Aset untuk mengevaluasi kekayaan hakim yang tidak wajar. Pihaknya akan memulai pembenahan dari Badan Peradilan dan mengevaluasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) para hakim.

Jika hasil evaluasi menunjukkan ketidakjujuran, hakim-hakim tersebut akan dibawa ke ranah hukum.

"Kalau saudara tidak jujur, ada rumah tidak dilaporkan, Badan Pengawasan dan aparat penegak hukum tahu, silakan, agar diusut," ujar Sunarto.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa sebanyak 29 hakim telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi sejak 2011 hingga 2024. Mereka diduga menerima suap untuk mengatur hasil putusan dengan nilai suap mencapai Rp 107.999.281.345.

ICW mendesak MA untuk memberantas mafia peradilan dan memperketat pengawasan terhadap kinerja hakim serta syarat penerimaan hakim untuk menutup ruang potensi korupsi.