Tragedi Ledakan Amunisi Garut: Komnas HAM Soroti Keterlibatan Warga Sipil Tanpa Kompetensi

Tragedi ledakan amunisi yang terjadi di Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Jawa Barat pada Mei 2025 lalu, masih menyisakan duka mendalam. Insiden yang terjadi saat proses pemusnahan amunisi kedaluwarsa oleh TNI Angkatan Darat (AD) itu, menelan korban jiwa yang tidak sedikit.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah melakukan investigasi mendalam terkait peristiwa tersebut. Hasilnya, ditemukan adanya keterlibatan warga sipil dalam aktivitas pemusnahan amunisi yang memiliki risiko tinggi. Yang menjadi sorotan adalah, warga sipil yang dilibatkan tersebut tidak memiliki kompetensi teknis yang memadai untuk menangani bahan berbahaya.

Menurut laporan Komnas HAM, terdapat 21 warga sipil yang terlibat dalam proses pasca-pemusnahan amunisi. Mereka bertugas membersihkan dan menangani sisa-sisa amunisi yang belum meledak sepenuhnya. Ironisnya, para pekerja ini tidak mendapatkan pelatihan teknis militer khusus terkait pemusnahan amunisi. Mereka bekerja dengan sistem upah harian dan belajar secara otodidak selama bertahun-tahun.

Anggota Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing, mengungkapkan bahwa warga sipil yang dilibatkan memiliki beragam tugas, seperti sopir, penggali lubang, pembongkar amunisi, hingga juru masak. Bahkan, beberapa pekerja dilaporkan pernah dilibatkan dalam kegiatan serupa di daerah lain, seperti Makassar dan Maluku. Praktik perbantuan warga sipil kepada TNI ini disebut telah berlangsung selama kurang lebih 10 tahun.

Komnas HAM juga menyoroti bahwa pelibatan warga sipil dalam penanganan amunisi seharusnya dilakukan dengan sangat hati-hati. Merujuk pada pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pelibatan pihak lain dalam kegiatan sejenis harus disertai dengan keahlian spesifik atau kompetensi tertentu.

Terkait temuan Komnas HAM ini, Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad) Brigjen TNI Wahyu Yudhayana menyatakan bahwa TNI AD menghargai setiap masukan dari berbagai pihak dan akan menjadikannya bahan evaluasi. TNI AD berkomitmen untuk terbuka dan menghargai setiap masukan konstruktif.

Sementara itu, Co-founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menilai bahwa pelibatan warga sipil dalam pemusnahan amunisi bertentangan dengan prinsip dasar perlindungan terhadap non-kombatan. Menurutnya, standar internasional seperti United Nations SaferGuard dan International Ammunition Technical Guidelines (IATG) mengatur bahwa aktivitas semacam ini hanya boleh dilakukan oleh personel yang memiliki pelatihan dan sertifikasi teknis yang memadai.

Fahmi juga mengingatkan bahwa persoalan ini tidak bisa dilihat semata-mata sebagai kelalaian institusi TNI. Ada persoalan tata kelola logistik pertahanan, integrasi zona pertahanan dalam tata ruang, serta lemahnya sinergi antarsektor yang perlu dibenahi. Selama ini, belum ada kebijakan tata ruang yang mengintegrasikan kebutuhan pertahanan secara sistematis, sehingga TNI kesulitan mencari lokasi pemusnahan amunisi yang aman dan jauh dari permukiman.