Pembatasan Subsidi Ongkos Kirim: Reaksi Kurir dan Kekhawatiran Konsumen Mengemuka
Pembatasan Subsidi Ongkos Kirim: Reaksi Kurir dan Kekhawatiran Konsumen Mengemuka
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 8 Tahun 2025 yang mengatur tentang layanan pos komersial. Salah satu poin penting dalam peraturan ini adalah pembatasan pemberian subsidi ongkos kirim (ongkir) oleh perusahaan jasa kurir. Subsidi ongkir kini dibatasi hanya tiga hari dalam sebulan, terutama untuk produk yang dijual di bawah Harga Pokok Produksi (HPP) atau yang potongan harganya menyebabkan tarif pengiriman di bawah biaya pokok layanan. Kebijakan ini tidak berlaku untuk promosi ongkir gratis yang diadakan oleh e-commerce, dan pembatasan ini dapat dievaluasi jika diperlukan.
Menurut Direktur Jenderal Ekosistem Digital Kominfo, Edwin Hidayat Abdullah, pembatasan ini bertujuan untuk mencegah praktik tarif yang terlalu rendah yang dapat merugikan perusahaan kurir dan menurunkan kualitas layanan. Praktik diskon yang berlebihan dapat mengakibatkan kurir dibayar rendah, perusahaan kurir merugi, dan kualitas layanan menurun.
Kebijakan ini menuai berbagai tanggapan dari masyarakat, khususnya di media sosial. Berikut adalah beberapa pandangan dari kurir dan konsumen mengenai kebijakan baru ini.
Reaksi dari Kurir
Toto Haryanto, seorang kurir Lion Parcel di Boyolali, mengaku belum menerima sosialisasi mengenai Permen Kominfo ini. Meskipun demikian, ia merasa kebijakan ini tidak akan berdampak signifikan pada jumlah orderannya karena perusahaannya tidak berafiliasi langsung dengan e-commerce. Sebaliknya, Toto mendukung kebijakan ini berdasarkan pengalamannya sebagai kurir Lazada di Jakarta selama tujuh tahun. Ia berharap kebijakan ini dapat menyejahterakan kurir melalui pembagian komisi dari marketplace. Ia juga menyoroti pengalaman pahitnya selama perang tarif, di mana volume pengiriman berkurang karena promosi gratis ongkir dari perusahaan lain. Toto juga berharap pemerintah memperhatikan status dan kesejahteraan kurir yang sebagian besar masih berstatus mitra.
Fajar, Supervisor Distribution Center J&T Surakarta, berpendapat bahwa kebijakan ini tidak akan terlalu mempengaruhi perusahaannya karena pangsa pasar yang besar dan kurangnya ketergantungan pada kerjasama dengan e-commerce. Ia meyakini bahwa dampak kebijakan ini akan lebih dirasakan oleh konsumen dan perusahaan e-commerce. Fajar juga menambahkan bahwa pembayaran kurir tetap sama, terlepas dari apakah barang yang dikirim mendapatkan gratis ongkir atau tidak. Ia juga optimis bahwa perusahaannya akan tetap bertahan dengan mengandalkan pengiriman reguler, terutama karena adanya peningkatan pengiriman paket dalam beberapa waktu terakhir. Ia berharap pengiriman paket di wilayah perkotaan Solo tetap lancar.
Kekhawatiran Konsumen
Fransisca Andeska Gladiaventa, seorang pengguna e-commerce dari Yogyakarta, khawatir bahwa kebijakan ini akan mempengaruhi kebiasaannya berbelanja online. Ia mengandalkan fitur gratis ongkir dalam berbelanja dari rumah. Namun, ia mendukung kebijakan ini jika tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan kurir. Fransisca berharap pemerintah mempertimbangkan dampak kebijakan ini bagi daerah-daerah yang jauh, seperti luar Jawa. Ia juga berharap perusahaan e-commerce tetap memberikan diskon atau potongan harga lain jika pembatasan gratis ongkir berdampak pada layanan mereka, misalnya dengan memberikan voucher gratis ongkir yang tidak memberatkan konsumen atau merugikan kurir.
Rosalia Dita, pengguna e-commerce dari Karanganyar, Jawa Tengah, mengaku belum merasakan dampak dari kebijakan pembatasan gratis ongkir hingga minggu ketiga Mei 2025. Ia telah menyiapkan strategi untuk menghadapi perubahan ini, seperti membeli barang lebih banyak dalam satu pengiriman atau memilih tempat tujuan pengiriman yang lebih dekat. Rosalia juga menyoroti kurangnya sosialisasi dari pemerintah mengenai kebijakan ini dan berharap ada komunikasi yang lebih masif kepada masyarakat.