Dua Anggota DPRD Sumatera Utara Terjerat Kasus Hukum Berbeda
Dua anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara (Sumut) menghadapi masalah hukum yang berbeda, menciptakan sorotan tajam terhadap lembaga legislatif tersebut. Satu kasus melibatkan dugaan tindakan kekerasan fisik terhadap seorang awak kabin pesawat, sementara kasus lainnya menyangkut tuduhan kekerasan seksual.
Anggota DPRD Diduga Melakukan Kekerasan pada Pramugari
Seorang anggota DPRD Sumut, Megawati Zebua, dilaporkan ke pihak kepolisian atas dugaan penganiayaan terhadap seorang pramugari maskapai Wings Air bernama Lidya Christine Kabrahanubun. Insiden ini terjadi di dalam pesawat sebelum penerbangan dengan rute Gunungsitoli menuju Medan pada tanggal 13 April 2025. Laporan tersebut diajukan oleh Lidya, yang merasa menjadi korban tindakan kekerasan tersebut.
Menurut informasi yang beredar, insiden bermula ketika Megawati bersikeras membawa kopernya ke dalam kabin pesawat, meskipun telah diberi tahu oleh awak kabin bahwa koper tersebut harus disimpan di bagasi kargo karena alasan keselamatan dan operasional. Situasi memanas ketika Megawati menolak mengikuti instruksi dan justru melakukan tindakan fisik terhadap pramugari tersebut.
Megawati membantah tuduhan tersebut dan mengklaim bahwa dirinya hanya berusaha membantu seorang penumpang lanjut usia yang tidak ingin barang bawaannya dimasukkan ke bagasi. Ia juga menuding bahwa video yang beredar di media sosial telah menimbulkan kesalahpahaman. Meskipun demikian, pihak kepolisian tetap melanjutkan proses penyelidikan dan telah memeriksa Megawati sebagai terlapor.
Selain laporan polisi dari pihak pramugari, Megawati juga melaporkan sebuah akun media sosial TikTok yang dianggap telah mencemarkan nama baiknya melalui unggahan video insiden tersebut dengan narasi yang tidak sesuai fakta. Kasus ini masih dalam penanganan pihak berwajib.
Anggota DPRD Dilaporkan Atas Dugaan Kekerasan Seksual
Kasus lain yang melibatkan anggota DPRD Sumut adalah laporan dugaan kekerasan seksual yang diajukan oleh seorang wanita berinisial SN terhadap Fajri Akbar. SN, yang berprofesi sebagai sales marketing di sebuah bank swasta, melaporkan Fajri ke Polda Sumut pada tanggal 2 Mei 2025.
Menurut keterangan SN, peristiwa tersebut bermula ketika ia menawarkan produk perbankan kepada Fajri di kantor DPRD. Setelah perkenalan tersebut, keduanya saling bertukar nomor telepon dan menjalin komunikasi yang intens. SN mengklaim bahwa Fajri sempat menyatakan cinta dan mengajak dirinya untuk pergi ke Jakarta, namun ia menolak.
SN menuturkan bahwa pada tanggal 27 Januari 2025, Fajri mengajaknya jalan-jalan dan kemudian membawanya ke sebuah hotel di Medan. Di hotel tersebut, SN mengaku dipaksa untuk berhubungan badan dengan iming-iming bantuan dalam pekerjaan. Pada tanggal 2 Maret 2025, SN memberitahu Fajri bahwa dirinya hamil. Fajri kemudian meminta untuk bertemu di hotel untuk mengecek kebenaran informasi tersebut. Setelah melihat hasil tes kehamilan, Fajri disebut melakukan kekerasan terhadap SN dan memaksanya untuk berhubungan badan.
Pihak Fajri membantah tuduhan tersebut dan menilai bahwa laporan SN tidak memiliki dasar data dan fakta yang kuat, serta menjurus ke fitnah. Kuasa hukum Fajri juga menyatakan bahwa hubungan antara kliennya dengan SN adalah hubungan antara pria dan wanita dewasa yang dilakukan atas dasar suka sama suka tanpa adanya unsur paksaan, tekanan, atau janji dalam kapasitas jabatan.
Fajri sendiri juga melaporkan SN ke Polda Sumut atas dugaan penyebaran berita bohong di media sosial. Pihak kepolisian telah memeriksa Fajri dan sejumlah saksi terkait laporan tersebut. SN juga telah dipanggil untuk dimintai keterangan terkait laporan Fajri.
Kedua kasus ini menjadi ujian berat bagi citra DPRD Sumut. Masyarakat menanti proses hukum yang transparan dan adil untuk mengungkap kebenaran dan memberikan keadilan bagi para korban, jika terbukti bersalah.