Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto Menuai Kontroversi, Komnas HAM Angkat Bicara
Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto kembali mencuat dan memicu perdebatan di berbagai kalangan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) turut memberikan tanggapan terkait hal ini, mempertanyakan kelayakan pemberian gelar tersebut di tengah isu pelanggaran HAM yang terjadi selama masa pemerintahannya.
Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, dalam sebuah diskusi publik bertajuk "Soeharto, Pahlawan atau Penjahat HAM", secara terbuka menyampaikan keraguannya. Ia mengajak para aktivis reformasi 1998 untuk merefleksikan kembali tujuan dan semangat reformasi yang diperjuangkan kala itu. Menurutnya, reformasi lahir sebagai respons terhadap kepemimpinan yang dianggap otoriter dan menyimpang dari cita-cita konstitusi.
Anis Hidayah juga menyoroti sejarah kelam pelanggaran HAM di era Orde Baru yang hingga kini belum terselesaikan. Ia menekankan pentingnya keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berat dan meminta semua pihak untuk mengingat jejak rekam Soeharto selama 32 tahun berkuasa, terutama dalam hal penegakan hak asasi manusia, demokrasi, dan kesejahteraan masyarakat. Anis Hidayah juga menyinggung tentang ruang sipil yang semakin sempit dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang kritis terhadap pemerintah sebagai bentuk kemunduran demokrasi.
"Kenapa 27 tahun lalu bangsa kita melakukan reformasi? Saya kira sangat jelas bagaimana pemimpin yang diktator, yang melahirkan, yang keluar dari tujuan sebagaimana ada di dalam konstitusi kita, bangsa yang adil, bangsa yang sejahtera, bangsa yang bebas, merdeka, itu justru tidak diwujudkan, tetapi sebaliknya (Soeharto) membangun kerusakan-kerusakan yang kemudian makin menjauhkan masyarakat kita dari keadilan sosial yang dimandatkan di dalam konstitusi dan Pancasila," jelas Anis.
Anis Hidayah mengajak seluruh elemen bangsa untuk kembali pada makna pahlawan yang telah didefinisikan secara jelas dan tegas dalam Undang-undang tentang pemberian gelar dan kehormatan. Ia menekankan bahwa gelar pahlawan seharusnya diberikan kepada individu yang telah memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.
Usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto ini muncul dari Kementerian Sosial (Kemensos) bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) pada Maret 2025. Menteri Sosial Saifullah Yusuf menjelaskan bahwa pengusulan ini telah melalui mekanisme berjenjang dari tingkat daerah hingga pusat. Selain Soeharto, terdapat sembilan nama lain yang juga diusulkan sebagai calon Pahlawan Nasional, yaitu:
- KH Abdurrahman Wahid (Jawa Timur)
- Sansuri (Jawa Timur)
- Idrus bin Salim Al-Jufri (Sulawesi Tengah)
- Teuku Abdul Hamid Azwar (Aceh)
- KH Abbas Abdul Jamil (Jawa Barat)
Kontroversi seputar wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto ini mencerminkan kompleksitas sejarah Indonesia dan perbedaan pandangan mengenai peran dan warisan mantan presiden tersebut. Perdebatan ini diharapkan dapat menjadi momentum untuk merefleksikan kembali nilai-nilai kebangsaan, keadilan, dan hak asasi manusia.