LPA Mataram Soroti Pernikahan Dini di Lombok Tengah: Pelaku Terancam Hukuman Pidana

Fenomena pernikahan dini kembali menjadi sorotan tajam di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram dengan tegas menyatakan bahwa praktik ini tidak hanya melanggar hak-hak anak, tetapi juga merupakan tindak pidana yang dapat berujung pada jeratan hukum.

Ketua LPA Kota Mataram, Joko Jumadi, menjelaskan bahwa pihaknya telah mengambil langkah proaktif dengan melaporkan kasus pernikahan anak yang viral di media sosial ke Polres Lombok Tengah. Langkah ini diambil sebagai bentuk komitmen LPA dalam melindungi anak-anak dari praktik yang merugikan masa depan mereka.

"Kami sangat prihatin dengan masih terjadinya pernikahan anak di Lombok Tengah. Ini adalah pelanggaran serius terhadap hak anak dan kami tidak akan tinggal diam," ujar Joko Jumadi.

Kasus yang dilaporkan melibatkan dua remaja di bawah umur. Mempelai wanita, seorang siswi SMP berusia 15 tahun dengan inisial YL, dan mempelai pria, seorang putus sekolah berusia 17 tahun dengan inisial RS. Pernikahan mereka yang tidak tercatat di catatan sipil ini, memicu keprihatinan mendalam di kalangan aktivis perlindungan anak.

Menurut Joko Jumadi, fokus laporan LPA bukan hanya pada kedua mempelai, tetapi juga pada pihak-pihak yang memfasilitasi pernikahan tersebut. Ini termasuk orang tua dan penghulu yang menikahkan pasangan tersebut.

"Dalam kasus ini, kami menyoroti peran orang dewasa yang seharusnya melindungi anak-anak dari praktik semacam ini. Mereka yang memfasilitasi pernikahan ini harus bertanggung jawab atas tindakan mereka," tegas Joko.

Joko Jumadi menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) secara tegas melarang perkawinan usia anak. Pasal 10 UU TPKS menyebutkan bahwa pelaku perkawinan anak dapat diancam dengan hukuman pidana hingga 9 tahun penjara. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya negara memandang masalah ini.

LPA berharap laporan ini dapat menjadi momentum bagi aparat penegak hukum untuk bertindak tegas terhadap pelaku perkawinan anak. Selain itu, LPA juga mengimbau masyarakat untuk lebih peduli dan berperan aktif dalam mencegah praktik ini.

"Pernikahan anak bukan hanya masalah individu atau keluarga, tetapi masalah sosial yang harus kita tangani bersama. Kami mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersatu padu melindungi anak-anak kita dari praktik yang merugikan masa depan mereka," pungkas Joko Jumadi.

LPA juga mencontohkan kasus serupa yang terjadi di Lombok Barat, di mana orang tua mempelai perempuan dan laki-laki telah menjadi terdakwa dan sedang menjalani proses persidangan. Hal ini menunjukkan bahwa hukum akan ditegakkan bagi siapa pun yang terlibat dalam perkawinan anak.

Poin-poin penting yang disoroti dalam kasus ini:

  • Pernikahan Dini: Perkawinan yang dilakukan oleh individu di bawah usia yang ditetapkan oleh undang-undang.
  • Pelanggaran Hak Anak: Pernikahan anak merampas hak anak untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, dan tumbuh kembang yang optimal.
  • Tindak Pidana: Perkawinan anak merupakan tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS.
  • Tanggung Jawab Orang Tua dan Penghulu: Orang tua dan penghulu yang memfasilitasi perkawinan anak dapat dijerat dengan hukum.
  • Peran Masyarakat: Masyarakat memiliki peran penting dalam mencegah dan melaporkan kasus perkawinan anak.

Dengan tindakan tegas dari aparat penegak hukum dan dukungan dari seluruh elemen masyarakat, diharapkan praktik perkawinan anak di Lombok Tengah dan wilayah lainnya di Indonesia dapat dihentikan.