Wacana Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto Ditolak Aktivis Reformasi

Aktivis reformasi 1998, Ubedilah Badrun, menyampaikan penolakan tegas terhadap wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto. Penolakan ini disampaikannya dalam sebuah diskusi publik yang mengangkat tema refleksi 27 tahun reformasi, dengan fokus pertanyaan "Soeharto Pahlawan atau Penjahat HAM?". Menurut Ubedilah, kondisi bangsa Indonesia saat ini justru mengalami kemunduran yang signifikan, bertolak belakang dengan cita-cita reformasi yang diperjuangkan pada tahun 1998.

Ubedilah mempertanyakan kelayakan Soeharto, yang pernah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi, untuk dinobatkan sebagai sosok yang memiliki integritas tinggi dan dapat dijadikan teladan bagi generasi penerus bangsa. Ia berpendapat bahwa tidak ada justifikasi apapun yang dapat membenarkan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto. Ubedilah membandingkan perkembangan Indonesia dengan negara-negara lain di kawasan Asia yang telah berhasil mencapai kemajuan pesat dalam kurun waktu dua dekade terakhir. Ia menyoroti stagnasi yang dialami Indonesia, dengan pertumbuhan ekonomi kuartal pertama tahun 2025 yang hanya mencapai 4,8 persen.

Ubedilah mencontohkan Korea Selatan, yang dulunya merupakan negara miskin, kini telah bertransformasi menjadi negara maju dengan pendapatan per kapita di atas 14.000 USD per tahun. Malaysia juga telah mencapai tingkat pendapatan per kapita yang sama, sementara Singapura bahkan telah mencapai 36.000 USD per tahun. Ia menyatakan kekecewaannya terhadap kondisi Indonesia saat ini, yang menurutnya mengalami kemunduran dibandingkan dengan harapan akan kemajuan yang luar biasa setelah 25 tahun reformasi.

Ubedilah mengidentifikasi beberapa faktor utama yang menyebabkan stagnasi ini, antara lain lemahnya supremasi hukum, praktik korupsi yang merajalela, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang belum terselesaikan. Ia merujuk pada data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang mengungkap dugaan korupsi sekitar Rp 900 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ubedilah menekankan bahwa pelanggaran HAM masa lalu yang belum dituntaskan, termasuk peristiwa tahun 1965, 1982, dan tragedi 1998 yang menewaskan lebih dari 1.300 orang menurut data Tim Gabungan Pencari Fakta, menjadi beban sejarah bangsa.

Ia menegaskan bahwa Soeharto tidak hanya tercatat dalam sejarah sebagai pelanggar HAM, tetapi juga telah dinyatakan sebagai koruptor berdasarkan proses hukum pada tahun 2000. Merujuk pada putusan Mahkamah Agung, Ubedilah menyebutkan bahwa kerugian negara akibat kasus Soeharto mencapai Rp 4,4 triliun. Ubedilah menyampaikan argumentasinya bahwa tidak mungkin seseorang yang terlibat dalam pelanggaran HAM dan telah ditetapkan sebagai koruptor dapat dinobatkan sebagai pahlawan. Ia juga merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, yang mensyaratkan seorang pahlawan harus memiliki integritas tinggi dan menjadi teladan bagi bangsa, kriteria yang menurutnya tidak dipenuhi oleh Soeharto.

Usulan nama Soeharto sebagai calon Pahlawan Nasional 2025 diajukan oleh Kementerian Sosial (Kemensos) bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) pada Maret 2025. Menteri Sosial Saifullah Yusuf menjelaskan bahwa pengusulan tersebut dilakukan secara berjenjang, mulai dari tingkat daerah hingga pemerintah pusat. Selain Soeharto, terdapat sembilan nama lain yang juga diusulkan sebagai calon Pahlawan Nasional, antara lain KH Abdurrahman Wahid, Sansuri, Idrus bin Salim Al-Jufri, Teuku Abdul Hamid Azwar, dan KH Abbas Abdul Jamil.

  • KH Abdurrahman Wahid (Jawa Timur)
  • Sansuri (Jawa Timur)
  • Idrus bin Salim Al-Jufri (Sulawesi Tengah)
  • Teuku Abdul Hamid Azwar (Aceh)
  • KH Abbas Abdul Jamil (Jawa Barat)