Kampung Starling: Potret Kehidupan Pedagang Kopi Madura di Tepi Ibu Kota

Di jantung Jakarta, tersembunyi sebuah perkampungan unik bernama Kampung Starling, sebuah komunitas yang telah lama berdiri tanpa banyak perhatian. Terletak di gang-gang sempit Jalan Prapatan Baru, Kwitang, Senen, permukiman padat ini menjadi rumah bagi ratusan pedagang kopi keliling yang gigih.

Kawasan ini dikenal dengan sebutan Kampung Starling, singkatan dari Starbucks Keliling, julukan populer untuk para penjual kopi yang menjajakan dagangannya menggunakan sepeda. Keberadaan Kampung Starling menjadi saksi bisu perjuangan para pendatang, khususnya dari Madura, dalam mengadu nasib di kerasnya ibu kota.

Jejak Awal Kampung Starling

Kendati tak ada catatan pasti mengenai awal mula berdirinya Kampung Starling, menurut penuturan warga, permukiman ini mulai tumbuh sekitar awal tahun 2000-an. Para pendatang dari Madura berdatangan secara bertahap, membangun tempat tinggal semi permanen seiring berjalannya waktu. Gelombang migrasi ini terus berlanjut, membawa serta keluarga dan harapan akan kehidupan yang lebih baik di Jakarta.

Saat ini, Kampung Starling menjadi rumah bagi lebih dari 500 jiwa. Mereka hidup berdesakan di permukiman sepanjang 350 meter dengan lebar hanya sekitar 3 meter. Hunian mereka mayoritas berupa bangunan semi permanen dari kayu dan seng, berdiri di tepi Kali Ciliwung. Meski sederhana, para penghuni merasa nyaman tinggal di sana.

Mata Pencaharian Utama: Berdagang Kopi Keliling

Mayoritas warga Kampung Starling menggantungkan hidupnya sebagai pedagang kopi keliling. Mereka membeli atau merakit sendiri sepeda yang menjadi modal utama. Setiap hari, mereka mengayuh sepeda ke berbagai sudut kota, mulai dari Tanah Abang, Sudirman, hingga kawasan perkantoran dan stasiun, menawarkan kopi dalam botol atau gelas plastik kepada para pencari minuman pelepas dahaga.

Pendapatan para pedagang kopi keliling ini bervariasi. Di hari yang baik, mereka bisa mengantongi hingga Rp 300.000, namun di hari sepi, penghasilan mereka hanya cukup untuk makan sehari. Mereka bekerja dengan sistem pembagian wilayah agar tidak saling bersaing, serta memilih jam kerja yang berbeda, ada yang berjualan dari pagi hingga sore, ada pula yang mulai dari sore hingga dini hari.

Bertahan di Tengah Keterbatasan

Bagi warga Kampung Starling, legalitas tanah atau hunian bukanlah prioritas utama. Mereka lebih fokus untuk bertahan hidup dengan hasil keringat sendiri. Meski hidup serba pas-pasan, mereka memilih untuk tetap tinggal dan membangun kehidupan di sana. Banyak yang telah berkeluarga dan tak berencana untuk pindah.

Kampung Starling menjadi simbol semangat pantang menyerah para pendatang dalam mencari nafkah di tengah kerasnya kehidupan Jakarta. Di jalanan ibu kota yang sibuk dan penuh tantangan, para pedagang kopi ini terus mengayuh roda kehidupan, satu gelas kopi demi satu gelas kopi.