Indonesia Hadapi Regulasi Deforestasi Uni Eropa: Modal Awal dan Tantangan
Indonesia Berada di Tingkat Risiko Standar dalam Regulasi Deforestasi Uni Eropa
Pada tanggal 22 Mei 2025, Uni Eropa (UE) akan memberlakukan klasifikasi risiko deforestasi bagi negara-negara pengekspor komoditas ke wilayahnya. Indonesia, bersama dengan Brasil, Kamboja, dan Malaysia, masuk dalam kategori risiko standar. Keputusan ini akan berdampak signifikan terhadap proses pemeriksaan produk ekspor Indonesia yang terikat dengan regulasi European Union Deforestation Regulation (EUDR).
EUDR sendiri merupakan kebijakan yang mewajibkan produk-produk tertentu, seperti kakao, karet, kayu, kelapa sawit, kopi, dan produk turunan sapi, untuk bebas dari deforestasi agar dapat diperdagangkan di negara-negara anggota Uni Eropa. Indonesia, sebagai salah satu negara pengekspor komoditas tersebut, perlu mempersiapkan diri menghadapi implementasi EUDR. Karena Indonesia bukan pengekspor kedelai dan sapi, maka hanya 5 komoditas yang termasuk dalam regulasi ini.
Sebagai negara dengan risiko standar, eksportir Indonesia tidak akan mendapatkan kemudahan dalam sistem uji tuntas (due diligence system atau DDS). Mereka diwajibkan untuk menerapkan DDS standar yang sesuai dengan penilaian dan mitigasi risiko yang diberlakukan terhadap Indonesia. Sistem ini harus diakui oleh otoritas berwenang di masing-masing negara anggota UE, seperti NVWA di Belanda dan Kementerian Pertanian, Kedaulatan Pangan, dan Kehutanan di Italia. Tanpa pengakuan tersebut, produk ekspor Indonesia secara legal tidak dapat memasuki pelabuhan di negara-negara UE.
Otoritas di negara-negara anggota UE akan melakukan pengecekan kepatuhan untuk mencegah terjadinya pelanggaran. Volume produk yang wajib diperiksa untuk Indonesia dan negara-negara dengan risiko standar adalah sebesar 3 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan negara dengan risiko rendah (1 persen) dan lebih rendah dibandingkan negara dengan risiko tinggi (9 persen).
Nilai ekspor 5 komoditas utama dan produk turunannya dari Indonesia ke Uni Eropa diperkirakan mencapai 4-4,5 miliar dollar AS per tahun. Terganggunya ekspor akibat tidak adanya DDS yang diakui akan memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi Indonesia.
Modal Awal Indonesia dalam Menghadapi EUDR
Indonesia sebenarnya tidak memulai dari titik nol dalam menghadapi EUDR. Sejak tahun 2014, Indonesia telah memiliki skema sertifikasi yang diakui secara internasional untuk ekspor kayu, bubur kayu, kertas, dan produk turunannya, yaitu melalui the Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC). Skema ini telah diakreditasi oleh Accredia (otoritas akreditasi Italia) dan KAN (Komite Akreditasi Nasional). Nilai ekspor yang bersertifikat dari IFCC mencapai sekitar 7 miliar dollar AS per tahun.
IFCC juga telah mengembangkan skema DDS yang disesuaikan dengan EUDR melalui konsultasi dengan pemerintah dan sektor swasta terkait di Italia.
Dukungan dari Pemerintah Italia juga menjadi modal penting bagi Indonesia. Pada tanggal 22 Mei 2024, Duta Besar Italia untuk Indonesia, Benedetto Latteri, menawarkan solusi teknis kepada Menteri Perdagangan Indonesia terkait produk ekspor yang terkena dampak EUDR. Duta Besar Latteri juga menawarkan opsi ekspor melalui pelabuhan Genoa dan Trieste di Italia sebagai pintu masuk ke pasar Uni Eropa.
Dengan modal awal ini, Indonesia memiliki peluang untuk berhasil menghadapi EUDR dan bahkan melakukan diversifikasi ekspor ke Uni Eropa. Optimisme ini juga disampaikan dalam pertemuan dengan birokrat senior Uni Eropa pada tanggal 5 Februari 2025 di Brussels.
Indonesia perlu terus meningkatkan koordinasi antar lembaga pemerintah dan sektor swasta untuk memastikan implementasi EUDR berjalan lancar dan tidak menghambat ekspor komoditas Indonesia ke Uni Eropa.