Upaya Pencegahan Pernikahan Dini di Lombok Tengah Terbentur Restu Orang Tua

Lalu Atmaja, Kepala Desa Beraim, Kecamatan Praya Tengah, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, mengungkapkan tantangan yang dihadapi dalam upaya pencegahan pernikahan anak di wilayahnya. Kasus pernikahan dini yang melibatkan anak di bawah umur baru-baru ini menjadi sorotan publik, memicu keprihatinan akan masa depan generasi muda.

Atmaja menjelaskan bahwa pemerintah desa telah berupaya semaksimal mungkin untuk mencegah pernikahan antara SR (17), seorang siswa SMK, dan SMY (15), seorang siswi SMP. Usaha ini dilakukan karena pernikahan di usia muda memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan anak.

"Kami sudah berupaya optimal untuk melarang pernikahan ini," ujar Atmaja, menekankan bahwa pihaknya telah melakukan intervensi sejak awal. Namun, upaya tersebut terbentur pada keinginan kuat dari pihak keluarga mempelai untuk tetap melanjutkan pernikahan.

Menurut Atmaja, sebelum acara nyongkolan yang menjadi viral, pasangan tersebut sempat dinikahkan secara diam-diam. Pemerintah desa, melalui kepala dusun, telah berupaya untuk memisahkan keduanya. Namun, SR kembali membawa SMY ke Sumbawa selama dua hari. Setelah kembali, keluarga perempuan menolak untuk memisahkan mereka karena khawatir akan timbul fitnah.

Lebih lanjut, Atmaja menjelaskan bahwa pernikahan tersebut berlangsung tanpa sepengetahuan pihak desa. Pemerintah desa juga telah meminta agar keluarga kedua mempelai tidak menggelar prosesi adat nyongkolan, termasuk larangan menggunakan alat musik. Namun, imbauan tersebut diabaikan oleh pihak keluarga.

"Sampai untuk nyongkolan itu, sudah kami kasih tahu, baik kadus pihak laki-laki dan perempuan tidak pakai alat kesenian, tetapi orang tua juga yang ngotot," tutur Atmaja. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pemerintah desa telah berupaya sekuat tenaga, keputusan akhir tetap berada di tangan keluarga.

Kasus ini menyoroti kompleksitas masalah pernikahan anak di Lombok Tengah, yang seringkali dipengaruhi oleh faktor budaya, ekonomi, dan kurangnya pemahaman mengenai dampak negatif pernikahan dini. Pemerintah desa Beraim berkomitmen untuk terus berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pendidikan dan kesehatan reproduksi bagi anak-anak, serta mendorong penegakan hukum yang lebih tegas terhadap pelaku pernikahan anak.