Waspada Kuliner Nonhalal: Empat Hidangan Kontroversial yang Dijajakan di Kota Solo

Kota Solo, yang dikenal dengan kekayaan budaya dan kulinernya, ternyata menyimpan sisi lain yang perlu diwaspadai, terutama bagi umat Muslim. Di balik gemerlapnya wisata kuliner, terdapat sejumlah hidangan nonhalal yang telah lama dijajakan secara terbuka, bahkan menjadi bagian dari tradisi kuliner lokal.

Fenomena ini mencuat seiring dengan viralnya kasus sebuah restoran ayam goreng legendaris yang menggunakan minyak babi dalam proses pembuatannya. Kejadian ini membuka mata publik terhadap keberadaan kuliner nonhalal yang mungkin belum sepenuhnya disadari oleh sebagian masyarakat.

Berikut adalah beberapa contoh hidangan nonhalal yang umum ditemukan di Solo:

  • Sengsu (Tongseng Asu): Hidangan ini merupakan tongseng yang menggunakan daging anjing sebagai bahan utamanya. Istilah 'asu' dalam bahasa Jawa berarti anjing. Sengsu memiliki sejarah panjang di Solo, bahkan telah ada sejak zaman kolonial Belanda. Cara penyajiannya mirip dengan tongseng kambing, dengan kuah kaya rempah dan tambahan kol.

  • Sate Jamu/Sate Guguk: Ini adalah sebutan lain untuk sate daging anjing. Penggunaan nama 'jamu' atau 'guguk' bertujuan untuk mengelabui pembeli, mengingat daging anjing bukanlah bahan makanan yang lazim dikonsumsi. Sate ini disajikan dengan bumbu kecap, acar bawang, dan irisan tomat, serupa dengan sate kambing.

  • Saren/Dideh/Marus: Saren adalah olahan darah hewan (sapi, ayam, atau babi) yang dikukus hingga mengeras. Teksturnya kenyal dan sering dijadikan pelengkap hidangan seperti soto, sate, atau opor. Saren biasanya disajikan di meja makan, sehingga pelanggan dapat mengambilnya sesuai selera.

  • Babi Kuah: Hidangan ini terbuat dari daging babi yang dimasak dengan kuah kaldu kaya rempah. Babi kuah seringkali disajikan dengan jeroan babi (jantung, paru, usus) dan saren babi. Masyarakat setempat meyakini bahwa babi kuah dapat menghangatkan tubuh.

Keberadaan hidangan-hidangan nonhalal ini menuntut kehati-hatian dari para konsumen, khususnya umat Muslim. Penting untuk selalu menanyakan bahan dan proses pembuatan makanan sebelum mengonsumsinya, serta memilih tempat makan yang terpercaya dan memiliki sertifikasi halal jika memungkinkan. Pemerintah daerah dan pihak terkait juga diharapkan dapat meningkatkan pengawasan dan memberikan informasi yang jelas kepada masyarakat mengenai keberadaan kuliner nonhalal di Solo, sehingga konsumen dapat membuat pilihan yang bijak dan sesuai dengan keyakinan mereka.