Tragedi Rasa dan Kepercayaan: Skandal Non-Halal di Ayam Goreng Legendaris Widuran Solo

Skandal Kremesan Babi Guncang Ikon Kuliner Solo: Ujian Berat Bagi Sistem Jaminan Halal Indonesia

Bayangkan sensasi renyah kremesan yang membalut ayam goreng gurih, hidangan yang selama puluhan tahun menjadi favorit keluarga. Namun, kehangatan itu berubah menjadi kekecewaan mendalam ketika Ayam Goreng Widuran Solo, sebuah restoran legendaris yang telah berdiri sejak 1973, mengakui bahwa kremesan ikoniknya ternyata dimasak menggunakan minyak babi. Pengakuan ini, yang disampaikan melalui akun Instagram resmi mereka pada Jumat, 24 Mei 2025, bagaikan petir di siang bolong bagi ribuan pelanggannya, terutama umat Muslim yang menjadikan kehalalan makanan sebagai prinsip utama.

Kabar ini langsung memicu badai reaksi di media sosial. Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan: Bagaimana mungkin hal ini terjadi setelah lebih dari setengah abad beroperasi? Apakah permohonan maaf dari pihak manajemen akan cukup untuk meredakan kemarahan publik, ataukah Widuran harus menghadapi konsekuensi hukum atas kelalaian yang sangat fatal ini?

Kasus ini bukan sekadar masalah kuliner semata. Ia adalah cerminan dari kegagalan sistem pengawasan kehalalan produk makanan di Indonesia, sebuah kegagalan yang mengkhianati kepercayaan masyarakat luas.

Akar Masalah dan Reaksi Publik

Ayam Goreng Widuran, yang berlokasi di Jalan Sultan Syahrir, Solo, telah lama dikenal sebagai ikon kuliner dengan resep ayam kampung tradisional yang khas. Namun, semuanya berubah ketika seorang pelanggan mengungkap di media sosial bahwa kremesan yang menjadi daya tarik utama hidangan mereka ternyata non-halal. Pengakuan ini dikonfirmasi oleh seorang karyawan bernama Ranto, setelah video viral dari akun @pedalranger menyebar luas.

Pihak manajemen baru mengumumkan status non-halal ini setelah gelombang keluhan membanjiri media sosial, dengan memasang label "NON-HALAL" secara terburu-buru di outlet dan platform online mereka. Hal ini semakin memperburuk situasi, karena dianggap sebagai upaya untuk menutupi fakta dan mengabaikan hak-hak konsumen.

Pertanyaan Besar: Di Mana Pengawasan?

Kasus Widuran ini mengingatkan kita pada kasus-kasus sebelumnya, di mana produk-produk bersertifikasi halal ternyata mengandung unsur DNA babi. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: ke mana perginya lembaga pengawas yang seharusnya menjamin kehalalan produk-produk yang beredar di pasaran?

Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), yang mewajibkan semua pelaku usaha untuk mencantumkan status halal atau non-halal pada produk mereka. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementerian Agama memiliki tanggung jawab untuk mengawasi implementasi undang-undang ini. Namun, kasus Widuran menunjukkan bahwa pengawasan tersebut belum berjalan efektif.

Widuran telah beroperasi selama 52 tahun tanpa kejelasan status halal yang memadai. Dinas Perdagangan Solo baru berencana melakukan pemeriksaan setelah kasus ini viral, yang menunjukkan pendekatan yang reaktif dan kurang preventif. UU JPH mewajibkan pelabelan, tetapi penegakannya masih lemah. Banyak pelaku usaha baru mencantumkan label non-halal setelah ditegur atau setelah kasus mereka menjadi viral.

Kementerian Agama Surakarta menekankan pentingnya transparansi, tetapi pernyataan ini terasa seperti formalitas tanpa tindakan nyata. Kasus ini juga mengungkap kurangnya koordinasi antara BPJPH, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan dinas-dinas daerah. BPJPH seharusnya proaktif dalam memverifikasi status halal kuliner populer, sementara BPOM dapat memeriksa bahan baku yang digunakan. Namun, hingga kasus Widuran mencuat, tidak ada tanda-tanda pemeriksaan rutin yang dilakukan.

Sanksi dan Reformasi Sistem Pengawasan

Pemerintah harus bertindak tegas dengan menjatuhkan sanksi yang nyata kepada Widuran, bukan sekadar memberikan peringatan. Kasus ini mencerminkan buruknya pengawasan kepatuhan halal di Indonesia, terutama pada pelaku usaha kuliner legendaris yang sering kali berlindung di balik status "warisan budaya".

Undang-undang Jaminan Produk Halal (JPH) jelas mewajibkan transparansi. Pelaku usaha yang tidak mematuhi, seperti Widuran, harus dihadapkan pada sanksi berat. Denda yang signifikan harus dijatuhkan, dan jika perlu, izin usahanya dicabut.

Dinas Perdagangan Solo dan BPJPH harus segera mengambil langkah konkret. Penangguhan izin operasional Widuran hingga audit menyeluruh terhadap bahan baku dan proses memasak selesai adalah sebuah keharusan. Audit harus dilakukan dengan ketat dan melibatkan verifikasi independen.

Kasus Widuran harus menjadi titik balik untuk reformasi pengawasan nasional. Pemerintah harus meluncurkan audit nasional yang menyasar sektor kuliner dan produk makanan lainnya. Tanpa tindakan ini, kasus serupa akan terus bermunculan, merusak kepercayaan publik.

Untuk mencegah terulangnya kasus serupa, pemerintah perlu menggencarkan kampanye transparansi halal yang tegas dan proaktif. Edukasi wajib bagi pelaku usaha tentang pelabelan halal/non-halal harus digalakkan, dengan sanksi nyata bagi yang abai. Pemerintah, melalui BPJPH dan Kementerian Agama, harus menjalankan amanat UU JPH secara maksimal.

Kasus Ayam Goreng Widuran adalah tamparan keras bagi sistem pengawasan halal di Indonesia. Kremesan yang digoreng dengan minyak babi bukan hanya soal rasa, tetapi soal kepercayaan, transparansi, dan tanggung jawab. Pemerintah harus berhenti bersembunyi di balik pernyataan formal dan mulailah bertindak nyata demi melindungi hak-hak konsumen Muslim dan menjaga kredibilitas sistem jaminan halal Indonesia.