Penunjukan Pejabat Militer di Kementerian Keuangan: Sinyal Penguatan Kontrol atau Erosi Profesionalitas?

Kontroversi Penempatan Perwira Militer di Kementerian Keuangan

Penunjukan seorang perwira militer sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai baru-baru ini telah memicu perdebatan publik yang signifikan. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan tentang batas-batas peran militer dalam pemerintahan sipil dan implikasinya terhadap profesionalisme dalam institusi keuangan.

Langkah ini terjadi setelah pengangkatan mantan perwira polisi sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang semakin memperkuat persepsi tentang meningkatnya pengaruh militer dan kepolisian dalam birokrasi sipil. Meskipun pemerintah berpendapat bahwa pejabat yang ditunjuk telah atau akan mengundurkan diri dari dinas aktif, banyak pihak tetap khawatir tentang implikasi yang lebih luas dari penempatan personel militer di posisi-posisi kunci.

Kekhawatiran Akan Kontrol dan Profesionalisme

Kritikus berpendapat bahwa penunjukan Dirjen Bea dan Cukai dari kalangan militer mengindikasikan kurangnya kepercayaan Presiden Prabowo Subianto terhadap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Beberapa laporan menunjukkan bahwa Prabowo dan Sri Mulyani memiliki perbedaan pandangan terkait anggaran pertahanan ketika Prabowo menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Dengan menempatkan seorang perwira militer sebagai Dirjen Bea dan Cukai, Prabowo tampaknya berusaha untuk memperkuat kontrolnya atas penerimaan negara.

Namun, ada kekhawatiran bahwa penempatan personel militer di posisi teknis seperti Dirjen Bea dan Cukai dapat mengorbankan profesionalisme. Jabatan ini memerlukan keahlian khusus dalam perpajakan dan kepabeanan, yang mungkin tidak dimiliki oleh seorang perwira militer. Hal ini dapat berdampak negatif pada efektivitas dan efisiensi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam mengumpulkan pendapatan negara.

Implikasi Terhadap Reformasi Penerimaan Negara

Penunjukan ini juga dilihat sebagai upaya untuk menghidupkan kembali gagasan pembentukan Badan Penerimaan Negara (State Revenues Board) yang terpisah dari Kementerian Keuangan. Prabowo telah lama mengadvokasi pembentukan badan ini, dengan alasan bahwa hal itu akan meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam pengumpulan pendapatan negara. Dengan menempatkan orang kepercayaannya di Dirjen Bea dan Cukai, Prabowo mungkin berharap untuk mencapai tujuan ini tanpa harus membentuk lembaga baru.

Namun, banyak ahli yang menentang pembentukan Badan Penerimaan Negara, dengan alasan bahwa hal itu hanya akan membuang-buang uang dan menciptakan duplikasi fungsi. Mereka berpendapat bahwa Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sudah beroperasi dengan baik dan mampu mengumpulkan pendapatan negara secara efektif.

Respon Publik dan Ancaman Terhadap Kebebasan Berpendapat

Penunjukan Dirjen Bea dan Cukai dari kalangan militer telah menuai kritik luas dari publik. Salah satu kritikus, seorang kolumnis, bahkan dilaporkan menerima ancaman dan artikelnya ditarik dari situs berita. Insiden ini menimbulkan kekhawatiran tentang kebebasan berpendapat dan potensi intimidasi terhadap mereka yang mengkritik kebijakan pemerintah.

Dampak Jangka Panjang Terhadap Hubungan Sipil-Militer

Perluasan peran militer dalam pemerintahan sipil juga menimbulkan pertanyaan tentang hubungan sipil-militer di Indonesia. Beberapa pengamat khawatir bahwa hal itu dapat mengarah pada militerisasi pemerintahan dan erosi demokrasi. Mereka berpendapat bahwa militer harus fokus pada tugas utamanya, yaitu pertahanan negara, dan tidak boleh terlibat dalam urusan sipil.

Selain itu, perubahan Undang-Undang TNI yang memperpanjang usia pensiun anggota TNI dapat memperburuk masalah ini. Dengan semakin banyak perwira militer yang tersedia untuk mengisi jabatan sipil, ada risiko bahwa peran militer dalam pemerintahan akan terus meningkat.

Mencari Keseimbangan

Penunjukan Dirjen Bea dan Cukai dari kalangan militer adalah masalah kompleks yang melibatkan berbagai pertimbangan politik, ekonomi, dan sosial. Pemerintah perlu berhati-hati dalam menyeimbangkan kebutuhan untuk memperkuat kontrol atas penerimaan negara dengan kebutuhan untuk menjaga profesionalisme dan supremasi sipil. Jika tidak, ada risiko bahwa Indonesia akan kembali ke masa lalu ketika militer memiliki terlalu banyak kekuasaan dan pengaruh dalam pemerintahan.

Dalam konteks ini, Mahkamah Konstitusi, yang saat ini sedang meninjau Undang-Undang TNI, harus mempertimbangkan implikasi dari perpanjangan usia pensiun anggota TNI terhadap hubungan sipil-militer. Mahkamah Konstitusi harus memastikan bahwa undang-undang tersebut tidak memungkinkan militer untuk memperluas perannya dalam pemerintahan sipil secara tidak terkendali.