Pernikahan Dini di Lombok: Pakar Psikologi Soroti Kesiapan Mental dan Dampak Neurologis
Kasus pernikahan anak di bawah umur kembali mencuat, kali ini terjadi di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan memicu keprihatinan berbagai pihak. Pasangan yang masih sangat muda, seorang gadis berusia 15 tahun dengan inisial YL dan seorang pemuda berusia 16 tahun dengan inisial RN, menjadi sorotan setelah video pernikahan mereka viral.
Diketahui bahwa pasangan ini sebelumnya telah melangsungkan pernikahan adat sekitar tiga minggu sebelum video tersebut menyebar luas. Namun, pernikahan tersebut sempat diintervensi oleh tokoh masyarakat setempat karena usia mereka yang belum memenuhi syarat. Meskipun demikian, upaya pemisahan tersebut tidak menghentikan niat mereka untuk bersatu. Tiga minggu berselang, mereka kembali melangsungkan pernikahan dengan tradisi merariq, atau kawin lari, yang merupakan bagian dari budaya Sasak. Dalam tradisi ini, mempelai wanita dibawa oleh mempelai pria ke Sumbawa selama dua hari dua malam sebelum akhirnya dipulangkan kembali ke Lombok.
Setelah kembali ke rumah pihak laki-laki, kepala dusun berinisiatif menghubungi keluarga perempuan dengan tujuan mengembalikan anak mereka. Namun, respons yang diterima di luar dugaan. Orang tua mempelai wanita menolak permintaan tersebut dan memilih untuk merestui pernikahan tersebut, berpegang pada tradisi yang berlaku di daerah mereka.
Merespons fenomena pernikahan dini ini, Gloria Siagian M, seorang psikolog anak, memberikan pandangannya terkait kesiapan mental anak-anak yang menikah di usia yang sangat muda. Ia menekankan bahwa kematangan mental dan emosional merupakan faktor krusial dalam sebuah pernikahan, dan anak-anak di bawah umur umumnya belum memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi kompleksitas kehidupan berumah tangga.
Gloria menjelaskan bahwa perkembangan otak manusia mencapai titik optimalnya setelah usia 25 tahun. "Secara neurologis, proses perkembangan otak yang lebih baik baru dicapai after umur 25 tahun," ujarnya. Hal ini mengindikasikan bahwa anak-anak yang menikah di bawah umur belum memiliki kemampuan kognitif dan emosional yang matang untuk mengambil keputusan penting dan menyelesaikan konflik dalam pernikahan.
Pernikahan dini juga berpotensi meningkatkan risiko terjadinya konflik dalam rumah tangga. "Pernikahan dini cenderung rentan terhadap KDRT dan perceraian," tegas Gloria. Kurangnya kematangan emosional dan keterampilan komunikasi yang efektif dapat memicu perselisihan yang berujung pada kekerasan dalam rumah tangga dan akhirnya perceraian.
Lebih lanjut, Gloria menyoroti pentingnya support system yang kuat bagi pasangan yang menikah. Anak-anak yang menikah di usia dini seringkali belum memiliki jaringan dukungan yang memadai untuk menghadapi tekanan dan tantangan dalam kehidupan pernikahan. Hal ini dapat menyebabkan mereka merasa terisolasi dan rentan terhadap konflik.
"Apalagi jika support system-nya tidak sehat. Yang nikah cukup umur saja banyak yang cerai," imbuhnya. Oleh karena itu, Gloria tidak merekomendasikan pernikahan anak di bawah umur karena mereka dianggap belum siap secara umur dan mental.
Ia menyarankan bahwa usia ideal untuk menikah adalah di atas 20 tahun, atau ketika seseorang telah memasuki usia dewasa muda. "Paling tidak sudah di atas umur 20 tahun," pungkasnya. Pada usia ini, individu diharapkan telah memiliki kematangan emosional, stabilitas finansial, dan kemampuan untuk mengambil keputusan yang bijaksana dalam kehidupan pernikahan.
- Pernikahan dini
- Usia pernikahan
- Psikologi anak
- Kesiapan mental
- Perkembangan otak
- KDRT
- Perceraian
- Support system
- Tradisi merariq
- Lombok Tengah
- Nusa Tenggara Barat