TNI AD Perketat Prosedur Pemusnahan Amunisi Pasca-Insiden Garut, Warga Sipil Tak Dilibatkan

Pasca-insiden ledakan amunisi di Garut, Jawa Barat, yang menelan korban jiwa, termasuk warga sipil, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) mengambil langkah tegas untuk mengevaluasi dan memperbaiki prosedur pemusnahan amunisi. Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad), Brigadir Jenderal TNI Wahyu Yudhayana, menyampaikan bahwa ke depan, pemusnahan amunisi dan bahan peledak berisiko tinggi lainnya tidak akan lagi melibatkan masyarakat sipil dalam bentuk apapun.

"Kejadian di Garut menjadi evaluasi mendalam bagi pimpinan Angkatan Darat," tegas Brigjen TNI Wahyu Yudhayana kepada awak media. Evaluasi ini berfokus pada peningkatan keamanan dan efisiensi dalam proses pemusnahan amunisi. Salah satu poin krusial dalam evaluasi ini adalah penghapusan keterlibatan warga sipil, bahkan dalam tugas-tugas pendukung seperti penyiapan logistik.

TNI AD berkomitmen untuk menangani seluruh proses pemusnahan amunisi secara mandiri dengan melibatkan satuan-satuan khusus yang terlatih dan dilengkapi dengan peralatan modern. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir risiko dan memastikan keselamatan personel serta masyarakat sekitar. Upaya modernisasi yang akan diterapkan meliputi:

  • Penggunaan Alat Berat Mini: Pemanfaatan mini excavator untuk menggali lubang pemusnahan, mengurangi kebutuhan tenaga manusia dan meminimalkan risiko paparan bahan berbahaya.
  • Robot Penjinak Bom: Penerapan robot penjinak bom untuk memindahkan amunisi dan bahan peledak ke lokasi penghancuran, menggantikan metode manual yang lebih berisiko.
  • Perlengkapan Keselamatan Modern: Penggunaan peralatan pelindung diri (APD) yang sesuai standar untuk seluruh personel yang terlibat dalam proses pemusnahan.

Investigasi awal terkait insiden Garut mengungkapkan adanya keterlibatan warga sipil dalam pengangkatan detonator ke dalam lubang pemusnahan. Temuan ini menjadi dasar bagi TNI AD untuk memperketat pengawasan dan memastikan kepatuhan terhadap protokol keselamatan yang ketat.

Brigjen TNI Wahyu Yudhayana menjelaskan bahwa detonator yang dimusnahkan dalam insiden tersebut telah kedaluwarsa (afkir) sehingga memerlukan penanganan khusus. Kondisi detonator yang tidak stabil memerlukan perlakuan yang sangat hati-hati, namun fakta ini tampaknya tidak sepenuhnya dipahami oleh semua pihak yang terlibat, termasuk warga sipil yang turut membantu proses pemusnahan.

Seharusnya, peran warga sipil dalam kegiatan semacam ini terbatas pada tugas-tugas ringan di luar area berbahaya, seperti menyiapkan makanan atau membersihkan residu setelah proses pemusnahan selesai. Namun, dalam insiden Garut, ditemukan adanya pelanggaran prosedur yang mengakibatkan warga sipil terlibat langsung dalam pengangkatan dan penempatan detonator ke dalam lubang pemusnahan.

Akibatnya, sembilan warga sipil menjadi korban dalam ledakan tersebut. Investigasi menunjukkan bahwa detonator diangkat dan dibawa dengan cara yang tidak sesuai dengan prosedur keselamatan, yang diduga menjadi pemicu ledakan. TNI AD berjanji akan mengambil tindakan tegas terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kelalaian ini.

Dengan langkah-langkah perbaikan dan modernisasi yang akan diterapkan, TNI AD berharap dapat mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan dan memastikan keamanan proses pemusnahan amunisi.