RUPTL PLN 2025-2034: Antara Optimisme Transisi Energi dan Tantangan Implementasi
markdown
RUPTL PLN 2025-2034: Antara Optimisme Transisi Energi dan Tantangan Implementasi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengumumkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025-2034, sebuah dokumen strategis yang akan memandu pengembangan sektor kelistrikan nasional selama sepuluh tahun mendatang. RUPTL ini menjadi acuan utama dalam memproyeksikan kebutuhan listrik dan merencanakan strategi pemenuhannya, di tengah upaya Indonesia bertransisi menuju energi bersih.
Proyeksi dalam RUPTL menunjukkan peningkatan signifikan dalam permintaan listrik nasional, diperkirakan mencapai 511 Terawatt jam (TWh) pada tahun 2034, naik 67% dari 306 TWh pada tahun 2024. Untuk memenuhi lonjakan permintaan ini, PLN berencana menambah kapasitas pembangkit listrik sebesar 69,5 Gigawatt (GW). Langkah yang menggembirakan, sebagian besar penambahan kapasitas ini akan berasal dari sumber energi baru dan terbarukan (EBT), mencapai sekitar 61% dari total penambahan.
Komposisi Energi Terbarukan dalam RUPTL
- Tenaga Surya: 17,1 GW
- Tenaga Air: 11,7 GW
- Tenaga Angin: 7,2 GW
- Tenaga Panas Bumi: 5,2 GW
- Bioenergi: 0,9 GW
Selain itu, RUPTL juga menekankan pentingnya penyimpanan energi dengan target kapasitas mencapai 10,3 GW, yang akan membantu menstabilkan pasokan listrik dari sumber-sumber energi terbarukan yang intermiten.
Namun, RUPTL ini menuai berbagai tanggapan. Lembaga think tank energi EMBER menilai bahwa RUPTL ini kurang ambisius. Walaupun begitu, RUPTL ini tetap memberikan harapan positif dalam upaya transisi energi di Indonesia. Dody Setiawan, Analis Senior Iklim dan Energi EMBER, menyampaikan apresiasi terhadap RUPTL PLN 2025–2034, namun juga memberikan catatan penting.
Salah satu poin yang disoroti adalah perbandingan dengan dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) dari Just Energy Transition Partnership (JETP). Target EBT dalam RUPTL dinilai masih lebih rendah dibandingkan dengan ambisi yang tertuang dalam CIPP. Tantangan implementasi juga menjadi perhatian utama. Pengalaman dari RUPTL sebelumnya menunjukkan bahwa banyak target pembangunan yang tidak tercapai. Oleh karena itu, Dody menekankan perlunya timeline pengadaan proyek yang jelas dan dukungan pemerintah yang kuat untuk memastikan keberhasilan implementasi.
Keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dalam RUPTL juga menjadi sorotan. Namun, perlu dicatat bahwa hampir seluruh proyek PLTU yang tercantum dalam RUPTL saat ini merupakan kelanjutan dari proyek-proyek yang sudah ada dalam RUPTL 2021–2030. Hal ini sejalan dengan Peraturan Presiden (Perpres) 112/2022 yang tidak memperbolehkan penambahan PLTU on-grid baru. Data dari Kementerian ESDM menunjukkan bahwa masih ada sekitar 6,1 GW PLTU yang belum beroperasi, dan rencana penambahan PLTU dalam RUPTL 2025–2034 adalah sebesar 6,3 GW, tidak jauh berbeda dari angka tersebut.
Potensi Lapangan Kerja dan Investasi
RUPTL 2025–2034 bukan hanya sekadar peta jalan energi, tetapi juga membuka peluang ekonomi yang signifikan. Dokumen ini memproyeksikan terciptanya lebih dari 836.000 lapangan kerja baru, yang sebagian besar merupakan pekerjaan hijau. Untuk merealisasikan seluruh proyek yang tercantum dalam RUPTL, dibutuhkan investasi besar, mencapai sekitar USD 182 miliar. Investasi ini akan digunakan untuk pembangunan pembangkit listrik dan ekspansi jaringan transmisi.
Besarnya kebutuhan investasi ini menjadi sinyal kuat bagi konglomerat energi dan lembaga keuangan di Indonesia untuk mulai mendiversifikasi portofolio bisnis mereka dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Perubahan ini tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan, tetapi juga membantu perusahaan menghadapi tantangan finansial dan regulasi, termasuk risiko dari ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dan pasar yang tidak stabil.
Dengan demikian, RUPTL PLN 2025-2034 menawarkan harapan bagi transisi energi Indonesia, namun keberhasilannya sangat bergantung pada implementasi yang efektif dan dukungan dari berbagai pihak.