Perjuangan Rahmat: Potret Kehidupan Tukang Foto Keliling di Ikon Jakarta
Di jantung ibu kota, tepatnya di pelataran Monumen Nasional yang selalu ramai, seorang pria bernama Rahmat terus berupaya menawarkan jasanya sebagai fotografer keliling. Di bawah terik matahari Jakarta, ia dengan sabar mendekati pengunjung, berusaha mengabadikan momen spesial mereka.
Rahmat, seorang pria berusia 43 tahun, telah lebih dari satu dekade menggantungkan hidupnya dari profesi sebagai tukang foto keliling di Monas. Kamera usang yang setia menemani menjadi saksi bisu berbagai cerita dan harapan. Meskipun era ponsel pintar dengan teknologi kamera canggih telah merajalela, masih ada sebagian pengunjung yang menghargai sentuhan klasik dan keahlian yang ditawarkan Rahmat.
"Seringkali saya mendengar komentar tentang kamera saya yang sudah ketinggalan zaman, dibandingkan dengan kamera ponsel," ungkap Rahmat, saat ditemui di Monas. "Namun, saya tidak berkecil hati. Saya percaya, kualitas sebuah foto tidak hanya ditentukan oleh alat, tetapi juga oleh niat dan keterampilan."
Rahmat memulai harinya sejak pukul 09.00 pagi dan terus berkeliling hingga sore hari, menyesuaikan dengan keramaian pengunjung. Hari libur menjadi berkah tersendiri, di mana ia bisa meraup penghasilan antara Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu. Namun, di hari-hari biasa, pendapatan tidak menentu. Meski demikian, Rahmat selalu bersyukur atas setiap rezeki yang diperoleh, karena setiap rupiah sangat berarti untuk menafkahi keluarganya.
"Pernah suatu hari saya hanya membawa pulang Rp 40 ribu," kenangnya. "Tetapi saya tetap berusaha keras, karena saya harus membawa uang untuk makan keluarga."
Profesi sebagai tukang foto keliling bukan sekadar pekerjaan bagi Rahmat, tetapi juga panggilan jiwa. Kecintaannya pada dunia fotografi telah tumbuh sejak masa sekolah menengah. Sebelum terjun ke dunia fotografi, Rahmat sempat bekerja di sebuah pabrik konveksi. Namun, karena adanya PHK, ia memutuskan untuk menekuni hobinya dan menjadikannya sebagai sumber penghidupan.
"Mungkin ini sudah jalan Tuhan," ujarnya. "Saya bersyukur bisa mencari rezeki dengan cara yang saya sukai."
Rahmat tidak pernah merasa minder dengan kamera tuanya. Ia meyakini bahwa ketulusan dan kerja keras adalah kunci utama. Ia selalu berusaha memberikan hasil terbaik bagi setiap pelanggannya. Tak jarang, ia menerima pujian atas hasil fotonya, yang membuatnya semakin termotivasi.
"Saya senang sekali jika ada yang bilang hasil foto saya bagus," ucapnya dengan senyum tulus. "Itu sudah menjadi penghargaan tersendiri bagi saya."
Bagi Rahmat, bekerja keras adalah ibadah. Setiap tetes keringat dan setiap rupiah yang diperoleh adalah berkah dari Tuhan. Ia terus menggenggam erat kamera lamanya, menyimpan harapan dan cerita dari Monas yang tak pernah sepi.
Berikut adalah daftar perlengkapan yang biasa digunakan Rahmat:
- Kamera lawas (merek dan tipe tidak disebutkan)
- Roll Film
- Tripod (kadang-kadang)
- Tas kamera
Semangat dan ketekunan Rahmat menjadi inspirasi bagi banyak orang. Di tengah gempuran teknologi modern, ia tetap setia pada profesinya, memberikan sentuhan klasik dan kenangan abadi bagi para pengunjung Monas.