Pakar Peringatkan Risiko Penggunaan AI Tanpa Kontrol pada Anak
Perkembangan pesat kecerdasan buatan (AI) menghadirkan peluang sekaligus tantangan bagi dunia pendidikan dan perkembangan anak, khususnya di Indonesia. Meskipun AI menawarkan potensi peningkatan sistem pembelajaran, adopsi yang kurang bijak berisiko memicu kesenjangan kognitif dan etika yang signifikan bagi generasi penerus. Penting bagi masyarakat, terutama orang tua, untuk memahami implikasi ini.
Laporan Readiness Assessment Methodology UNESCO (2024) menyoroti kesiapan Indonesia dalam mengadopsi AI secara komprehensif. Keterbatasan sumber daya manusia, termasuk pelajar, pendidik, masyarakat umum, industri, dan pemerintah, menjadi perhatian utama. Banyak pihak belum memiliki pemahaman, kemampuan penggunaan, dan pengawasan AI yang bertanggung jawab secara etis.
Diena Haryana, Founder Sejiwa Foundation, menekankan pentingnya memperkuat karakter dan keterampilan hidup (life skills) sejak usia dini sebagai landasan dalam menghadapi disrupsi teknologi. Anak-anak rentan terhadap daya tarik dunia digital, termasuk AI yang menawarkan berbagai fitur menarik seperti game, chatbot, dan konten kreatif.
"Jika tidak berhati-hati, AI dapat mengikis kemampuan dasar anak-anak untuk bersosialisasi, mengurus diri sendiri, dan bahkan mendapatkan istirahat yang cukup. Kita tidak boleh membiarkan anak-anak tumbuh tanpa life skills, keterampilan sosial, dan kehilangan sisi kemanusiaan mereka," ujar Diena.
Sebelum memperkenalkan AI, anak-anak perlu memiliki kemampuan mendasar yang kuat seperti life skills, social skills, physical skills, dan spiritual skills. Tanpa fondasi ini, teknologi berpotensi mengurangi sisi kemanusiaan dan menjadikan mereka "kurang manusiawi". Teknologi harus dikuasai oleh manusia, bukan sebaliknya. Anak-anak harus diajarkan untuk mencintai kehidupan, berinteraksi dengan lingkungan sekitar, dan mengembangkan kebutuhan untuk berinteraksi secara nyata sebelum menggunakan teknologi digital sebagai alat bantu.
Penggunaan AI dalam pendidikan adalah pedang bermata dua. Teknologi ini dapat mempersonalisasi pembelajaran, meningkatkan efisiensi, dan menyediakan akses informasi yang luas. Namun, ketergantungan berlebihan pada AI tanpa bimbingan yang memadai dapat mengurangi ruang eksplorasi, interaksi sosial, dan empati yang penting bagi perkembangan anak. Keluarga memegang peranan penting dalam melindungi, mengarahkan, dan mendampingi anak dalam penggunaan teknologi.
"Sebelum memperkenalkan teknologi, anak-anak harus dibekali dengan keterampilan dasar seperti berpikir kritis, empati, disiplin, dan kebijaksanaan. Nilai-nilai ini akan menjadi fondasi karakter dan membentuk mereka sebagai manusia seutuhnya," kata Diena.
Diena menekankan pentingnya pendekatan bertahap (gradual approach) dalam pendidikan formal dan informal, yang tidak hanya berfokus pada penguasaan teknologi, tetapi juga pada pengembangan konsep unggul dan tangguh pada anak.
"Kita harus membangun ketertarikan anak pada dunia nyata terlebih dahulu, kemudian memperkenalkan keterampilan digital yang relevan," ujarnya. Ia juga menekankan pentingnya pendidikan karakter menyeluruh melalui penguatan life skills, keterampilan fisik, sosial, dan spiritual.
Diena menekankan perlunya kehati-hatian dalam merumuskan kebijakan terkait perkembangan anak dalam menghadapi disrupsi teknologi. Adopsi teknologi, khususnya AI, tidak boleh terburu-buru dan harus didasarkan pada pendekatan yang bijak dan berpihak pada kepentingan anak.
"Biarkan anak-anak kita membangun keunggulan dan ketangguhan diri terlebih dahulu dalam hidup secara menyeluruh, baru kemudian diperkuat dengan teknologi digital," kata Diena.
Pembangunan karakter anak harus menjadi prioritas utama. AI harus berperan sebagai alat bantu dalam pendidikan dan kehidupan, bukan menggantikan interaksi nyata dan pengalaman hidup yang esensial. Kolaborasi multipihak, termasuk pemerintah, industri, lembaga pendidikan, dan keluarga, sangat penting untuk menciptakan ekosistem AI yang aman dan sehat bagi generasi muda.