Bank Dunia Soroti Tingkat Kemiskinan di Indonesia: Lebih dari Separuh Populasi Berjuang dengan Keterbatasan Ekonomi
Laporan terbaru dari Bank Dunia, Macro Poverty Outlook 2025, menyoroti tantangan kemiskinan yang signifikan di Indonesia. Data yang dirilis menunjukkan bahwa lebih dari separuh populasi Indonesia, tepatnya 60,3 persen, hidup di bawah garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Bank Dunia untuk negara dengan tingkat pendapatan menengah ke atas (upper middle income country).
Angka ini menempatkan Indonesia pada urutan keempat teratas secara global dalam persentase penduduk miskin, setelah Afrika Selatan, Namibia, dan Botswana. Perhitungan Bank Dunia menggunakan standar pendapatan $6,85 per kapita per hari sebagai acuan garis kemiskinan. Individu dengan pendapatan di bawah angka ini dikategorikan sebagai miskin.
Perlu dicatat bahwa metodologi perhitungan kemiskinan Bank Dunia ini berbeda dengan yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia. BPS menggunakan garis kemiskinan nasional per kapita sebesar Rp 595.242 per bulan sebagai tolok ukur.
Berikut adalah daftar negara dengan persentase penduduk miskin tertinggi menurut Bank Dunia:
- Afrika Selatan: 63,4 persen
- Namibia: 62,5 persen
- Botswana: 61,9 persen
- Indonesia: 60,3 persen
- Guatemala: 57,3 persen
- Guinea Khatulistiwa: 57 persen
- Armenia: 51 persen
- Fiji: 50,1 persen
- Georgia: 35,6 persen
- Gabon: 34,6 persen
Laporan Bank Dunia juga menyinggung pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5 persen pada tahun 2024, tingkat lapangan kerja sebesar 67,2 persen, dan inflasi sebesar 2,3 persen. Meskipun terdapat pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan serta pengangguran, Bank Dunia menekankan bahwa penciptaan lapangan kerja baru untuk kelas menengah masih tertinggal.
Lebih lanjut, Bank Dunia menyoroti ketidakpastian regulasi di Indonesia sebagai faktor yang memicu arus keluar investasi. Untuk mencapai target pertumbuhan yang diharapkan, Bank Dunia merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk melakukan reformasi struktural.
"Pertumbuhan diproyeksikan mencapai rata-rata 4,8 persen hingga 2027, tetapi ketidakpastian dalam kebijakan perdagangan dapat memengaruhi investasi dan pertumbuhan. Reformasi struktural untuk mempercepat pertumbuhan produktivitas, di samping kehati-hatian fiskal dan moneter, merupakan kunci untuk memajukan agenda pertumbuhan pemerintah," demikian bunyi laporan Bank Dunia.