Kejagung Bantah Nadiem Makarim Masuk DPO dalam Kasus Pengadaan Laptop

Kejaksaan Agung (Kejagung) secara resmi membantah informasi yang beredar luas di media sosial mengenai mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim, yang dikabarkan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Bantahan ini terkait dengan kasus dugaan korupsi dalam pengadaan laptop di lingkungan Kemendikbudristek pada periode 2019 hingga 2022.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, dengan tegas menyatakan bahwa informasi yang beredar tersebut tidak benar. "Kami tidak pernah menyatakan bahwa Nadiem Makarim adalah DPO," ujarnya kepada wartawan di Kantor Kejagung, Jakarta Selatan.

Klarifikasi ini muncul setelah beredarnya sebuah video di media sosial yang mengklaim bahwa penyidik dari Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) sedang melakukan penggeledahan di sebuah apartemen yang disebut-sebut milik Nadiem Makarim. Dalam video tersebut, dinarasikan bahwa penggeledahan tersebut terkait dengan kasus korupsi pengadaan Chromebook dan menyebutkan nilai korupsi mencapai hampir Rp 10 triliun.

Harli Siregar dengan tegas membantah narasi dalam video tersebut. Ia menjelaskan bahwa penggeledahan memang dilakukan, namun bukan di apartemen milik Nadiem Makarim, melainkan di apartemen milik salah satu mantan staf khusus (stafsus) Nadiem Makarim yang berinisial FH. Penggeledahan ini masih terkait dengan kasus dugaan korupsi pengadaan laptop. "Kami tidak melakukan penggeledahan di apartemen milik Nadiem Makarim," tegas Harli.

Sebelumnya, Kejagung telah melakukan penggeledahan di dua apartemen yang berlokasi di Jakarta Selatan terkait dengan kasus ini. Penggeledahan dilakukan di Apartemen Kuningan Place, yang merupakan kediaman saudari FH, dan Apartemen Ciputra World 2 Tower Orchard, yang merupakan kediaman saudari JT. Keduanya adalah staf khusus mantan Menteri Dikbudristek.

Dari penggeledahan tersebut, penyidik menyita berbagai dokumen dan barang bukti elektronik yang diduga terkait dengan kasus korupsi pengadaan laptop digitalisasi pendidikan senilai Rp 9,9 triliun. Barang bukti tersebut akan dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui keterkaitannya dengan tindak pidana yang sedang disidik.

Kejaksaan Agung sendiri telah memulai penyidikan kasus ini sejak 20 Mei. Dugaan awal adalah adanya persekongkolan jahat dalam proses pengadaan, yang mengarahkan tim teknis untuk membuat kajian teknis yang mengutamakan penggunaan laptop berbasis sistem operasi Chromebook. Padahal, pada saat itu, penggunaan Chromebook dinilai kurang efektif karena ketergantungan pada koneksi internet yang belum merata di seluruh Indonesia.

Proyek pengadaan laptop digitalisasi pendidikan ini menggunakan anggaran negara sebesar Rp 9,9 triliun, yang terdiri dari Rp 3,5 triliun dari satuan pendidikan dan Rp 6,3 triliun melalui Dana Alokasi Khusus (DAK). Kasus ini masih dalam tahap penyidikan dan Kejaksaan Agung terus melakukan pendalaman untuk mengungkap seluruh pihak yang terlibat dalam dugaan tindak pidana korupsi ini.