Tragedi Marsinah: Antara Perjuangan Buruh dan Kekerasan Mematikan

Marsinah: Suara Lantang yang Dibungkam

Kisah Marsinah, seorang buruh wanita yang gigih memperjuangkan hak-hak pekerja, berakhir tragis dengan penemuan jasadnya pada 8 Mei 1993 di sebuah gubuk di kawasan hutan Desa Jegong, Nganjuk, Jawa Timur. Kondisi tubuhnya yang penuh luka dan darah mengisyaratkan adanya tindak kekerasan dan penyiksaan sebelum kematiannya. Kematian Marsinah sempat luput dari perhatian publik, sebelum akhirnya memicu kecurigaan dari berbagai LSM, serikat buruh, dan aktivis mahasiswa.

Kasus ini bermula dari tuntutan para buruh PT Catur Putra Surya (CPS), sebuah pabrik arloji, pada tanggal 3-4 Mei 1993. Mereka menuntut pemenuhan 12 hak dasar, yang meliputi:

  • Kenaikan upah sesuai ketentuan Menteri Tenaga Kerja No.50 tahun 1992.
  • Perhitungan upah lembur yang adil sesuai Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.72 tahun 1984.
  • Penyesuaian cuti haid dengan upah minimum.
  • Jaminan kesehatan bagi buruh sesuai UU No.3 1993 tentang Jamsostek.
  • Penyertaan buruh dalam program Asuransi Tenaga Kerja.
  • Pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) sebesar satu bulan gaji.
  • Kenaikan uang makan dan transport.
  • Pembubaran Unit Kerja Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) di PT CPS.
  • Pembayaran cuti hamil.
  • Penyamaan upah buruh yang telah menjalani masa training dengan buruh yang sudah bekerja setahun.
  • Hak-hak buruh yang telah ada tidak boleh dikurangi, hanya boleh ditambah.
  • Jaminan bahwa pengusaha tidak akan melakukan mutasi, intimidasi, atau pemecatan terhadap buruh yang melakukan pemogokan.

Dari 12 tuntutan tersebut, 11 di antaranya dikabulkan, kecuali pembubaran Unit Kerja SPSI di PT CPS. Kesepakatan ini tertuang dalam Surat Persetujuan Bersama. Namun, pada 5 Mei 1993, situasi berubah drastis. Sebanyak 13 buruh dipanggil oleh Kodim 0816 Sidoarjo dan dipaksa untuk mengundurkan diri dari PT CPS dengan dalih bahwa mereka sudah tidak dibutuhkan lagi oleh perusahaan. Para buruh menolak permintaan tersebut, namun justru mendapatkan intimidasi dan tindakan represif dari pihak Kodim. Akhirnya, mereka terpaksa menandatangani surat pengunduran diri yang telah disiapkan dan mengisi formulir yang berisi pertanyaan tentang identitas, keluarga, pendidikan, hingga pandangan mereka terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI). Uang pesangon juga diberikan kepada 13 buruh tersebut tanpa melalui prosedur resmi.

Perlawanan dan Penculikan

Mendengar kabar tentang pemanggilan dan intimidasi yang dialami rekan-rekannya, Marsinah menulis surat yang berisi petunjuk menjawab interogasi. Ia juga berikrar akan membawa persoalan ini ke Kejaksaan Surabaya jika rekan-rekannya diancam. Pada hari yang sama, Marsinah bersama seorang rekannya melayangkan surat protes kepada PT CPS. Malam harinya, setelah berkunjung ke kediaman temannya, Marsinah menghilang tanpa jejak, meninggalkan misteri yang kelam.

Tewasnya Marsinah menarik perhatian publik, bahkan hingga ke Presiden Soeharto. Dalam sebulan pertama, polisi telah memeriksa 142 orang. Puncaknya terjadi pada 1 November 1993 dini hari, ketika satuan intelijen menculik delapan orang yang diduga terlibat dalam pembunuhan Marsinah. Kedelapan orang tersebut merupakan orang-orang dari PT CPS, termasuk pemilik pabrik, Judi Susanto. Mereka mengalami penyiksaan berat untuk dipaksa mengakui sebagai dalang pembunuhan Marsinah.

Proses Hukum yang Janggal

Dalam proses penyelidikan dan penyidikan oleh Tim Terpadu Bakorstanasda Jawa Timur, disebutkan bahwa Suprapto, seorang pekerja di PT CPS, menjemput Marsinah dengan sepeda motornya dan membawanya ke rumah Judi Susanto. Setelah tiga hari disekap, Marsinah disebut dibunuh oleh Suwono, seorang satpam di PT CPS. Judi Susanto divonis 17 tahun penjara, sementara beberapa staf PT CPS dijatuhi hukuman antara 4 hingga 12 tahun penjara. Namun, Judi Susanto bersikeras menyatakan bahwa dirinya tidak terlibat dan hanya dijadikan kambing hitam. Ia kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi dan dinyatakan bebas. Hal serupa juga dilakukan oleh para staf PT CPS, yang akhirnya dibebaskan dari segala dakwaan oleh Mahkamah Agung.

Luka yang Belum Sembuh

Kasus pembunuhan Marsinah hingga kini belum menemui titik terang dan menjadi salah satu catatan pelanggaran HAM di Indonesia. Nama Marsinah kembali menjadi perbincangan publik pada Hari Buruh Internasional 1 Mei 2025, ketika Presiden Prabowo mengusulkan Marsinah sebagai pahlawan nasional, dengan syarat seluruh pimpinan buruh mewakili kaum buruh mendukungnya.

Referensi:

  • Menguak Kisah Marsinah. (2020). (n.p.): Tempo Publishing.
  • Tim Penulis YLBHI. 1995. Kekerasan Penyidikan dalam Kasus Marsinah: Catatan bagi Revisi KUHAP. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
  • Tim Pencari Fakta Pembunuhan Marsinah. 1994. Laporan Pendahuluan Kasus Pembunuhan Marsinah. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).