50 Narapidana Lapas Kutacane Kabur; Rasio Petugas dan Tuntutan Warga Binaan Jadi Sorotan
50 Narapidana Lapas Kutacane Kabur; Rasio Petugas dan Tuntutan Warga Binaan Jadi Sorotan
Kejadian kaburnya 50 narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIB Kutacane, Aceh Tenggara, pada Senin (10/3/2025) malam, telah mengungkap sejumlah permasalahan krusial dalam sistem keamanan dan pengelolaan lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Kejadian ini bukan sekadar pelarian massal, melainkan cerminan dari ketimpangan sumber daya dan minimnya respon terhadap tuntutan warga binaan.
Kepala Lapas Kelas IIB Kutacane, Andi Hasyim, dalam keterangan persnya mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang diduga memicu peristiwa ini adalah serangkaian tuntutan dari para narapidana, termasuk di antaranya permintaan untuk menyediakan 'bilik asmara' di dalam lapas. Permintaan ini, menurut Andi Hasyim, berada di luar kewenangannya dan harus diproses melalui jalur birokrasi ke tingkat pusat. Namun, pernyataan ini justru mengungkap adanya celah komunikasi dan respon yang kurang efektif terhadap aspirasi warga binaan, yang kemudian memicu tindakan ekstrim berupa upaya pelarian.
Lebih lanjut, Andi Hasyim juga menyoroti permasalahan krusial terkait rasio petugas dan jumlah narapidana di Lapas Kutacane. Dengan jumlah petugas keamanan hanya enam orang dan jumlah narapidana mencapai 362 orang, terlihat jelas ketidakseimbangan yang signifikan. Rasio yang demikian timpang ini membuat pengawasan menjadi sangat terbatas dan membuka celah bagi terjadinya pelarian massal. Minimnya jumlah petugas keamanan ini menjadi faktor penentu utama dalam memudahkan narapidana untuk menjebol dua dari tiga pintu lapas dan kemudian melarikan diri melalui atap gedung.
Kejadian ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai standar keamanan dan prosedur operasional standar (SOP) di Lapas Kutacane. Tiga pintu utama lapas yang seharusnya menjadi benteng pertahanan terakhir, ternyata bisa dijebol dengan mudah oleh para narapidana. Hal ini mengindikasikan adanya kelemahan signifikan dalam sistem keamanan fisik lapas dan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap SOP yang berlaku. Selain itu, perlunya peningkatan sumber daya manusia, khususnya penambahan jumlah petugas keamanan dan pelatihan yang lebih intensif, menjadi hal yang mendesak untuk mencegah kejadian serupa terulang.
Saat ini, pihak Lapas Kutacane berharap agar para narapidana yang melarikan diri dapat segera menyerahkan diri. Pihak Lapas menyatakan kesediaannya untuk berkomunikasi dan menyelesaikan masalah melalui jalur hukum yang berlaku. Namun, kejadian ini tetap menjadi alarm bagi pemerintah untuk segera melakukan evaluasi dan reformasi menyeluruh terhadap sistem pemasyarakatan di Indonesia, termasuk peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, perbaikan infrastruktur keamanan, dan yang terpenting, memperhatikan dan merespon aspirasi para warga binaan secara lebih efektif dan humanis.
Tindakan yang perlu dilakukan: * Peningkatan jumlah petugas keamanan: Rasio petugas dan narapidana yang jauh timpang harus segera diperbaiki. * Peningkatan sistem keamanan: Perbaikan infrastruktur dan evaluasi SOP keamanan di Lapas Kutacane sangat penting. * Respon yang lebih efektif terhadap aspirasi warga binaan: Saluran komunikasi yang transparan dan responsif harus dibangun untuk mencegah tindakan ekstrem. * Evaluasi menyeluruh sistem pemasyarakatan: Kejadian ini harus menjadi momentum untuk reformasi sistem pemasyarakatan secara menyeluruh di Indonesia.