Kapasitas Pendakian Terlampaui, Persaingan Lahan Kamping di Gunung Meningkat

Persaingan Lahan Kamping di Gunung Meningkat Akibat Kapasitas Pendakian Terlampaui

Fenomena perebutan lahan untuk berkemah di area pegunungan menjadi sorotan, diduga kuat dipicu oleh jumlah pendaki yang melampaui kuota yang telah ditetapkan. Praktisi pendakian gunung, Ade Wahyudi, menyampaikan bahwa masalah ini semakin mencuat seiring dengan meningkatnya popularitas pendakian, terutama di gunung-gunung yang berlokasi dekat dengan pusat kota di Pulau Jawa.

"Perebutan lahan camp ini kan terjadi semenjak kegiatan pendakian ini sudah sangat ramai ya terutama lokasi-lokasi popular yang dekat dengan kota-kota besar seperti di Jakarta khususnya di Pulau Jawa," kata Ade Wahyudi.

Menurutnya, persaingan ini mencapai puncaknya saat musim liburan panjang, ketika jumlah pendaki melonjak drastis. Padahal, setiap gunung memiliki batasan jumlah pendaki harian yang ideal, yang dikenal sebagai kuota pendakian. Kuota ini ditentukan berdasarkan daya tampung lokasi, mempertimbangkan ketersediaan lahan kemah, sumber air, potensi dampak sampah, serta gangguan terhadap flora dan fauna.

"Kuota pendakian itu kan setahu saya itu kan dihitung dari carrying capacity atau daya tampung dari suatu lokasi. Nah kalau penghitungan carrying capacity itu biasanya kan dihitung dengan jumlah pendakian yang naik disesuaikan dengan jumlah lahan camp yang tersedia maksimalnya berapa. Kemudian dengan sumber air, efek sampahnya, gangguannya terhadap satwa, flora fauna dan sebagainya," ujar Ade Wahyudi.

Lebih lanjut, Ade Wahyudi, yang juga berprofesi sebagai pemandu gunung bersertifikasi, mengungkapkan bahwa pelanggaran kuota pendakian sering terjadi di gunung-gunung yang ramai dikunjungi. Banyak pendaki yang masuk tanpa tiket resmi, sebuah praktik yang sudah menjadi rahasia umum di kalangan pendaki, terutama di Jawa.

Konsekuensi dari kelebihan kapasitas ini sangat beragam, mulai dari kesulitan mencari tempat berkemah hingga kerusakan lingkungan akibat pembukaan lahan baru. Beberapa pendaki bahkan dilaporkan menebang pohon untuk membuat area kemah, tindakan yang jelas melanggar aturan konservasi dan dapat berujung pada denda atau bahkan pidana.

"Dan itu dengan cara kadang-kadang menebang pohon. Ini kan menebang pohon ini jelas-jelas sebenarnya melanggar aturan konservasi. Bahkan bisa dIdenda bahkan dipidana kalau pohonnya ukurannya besar atua pohon yang langka gitu ya," ujar Ade Wahyudi.

"Walaupun tak menebang pohon, Ketika lahan itu digunakan berkali-kali untuk camping makin lama itu akan rusak juga. Kalaupun bentuknya rumput atau pohon perdu, Ketika sering dipakai akan sulit recovery dan jadi gundul," ujar Ade Wahyudi.

Untuk mengatasi masalah ini, Ade Wahyudi menekankan pentingnya penegakan aturan kuota pendakian oleh pihak pengelola. Selain itu, penertiban operator pendakian yang menggunakan lahan terlalu luas juga perlu dilakukan agar semua pendaki memiliki kesempatan yang sama untuk berkemah. Dengan pengelolaan yang baik dan kepatuhan terhadap aturan, pendakian dapat dilakukan dengan nyaman dan tetap menjaga kelestarian alam.

Sementara itu, Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi (PJLHK) Kementerian Kehutanan, Nandang Pribadi, mengajak seluruh elemen, termasuk pendaki, porter, dan pemandu, untuk saling mengingatkan dan melaporkan pelanggaran yang terjadi di gunung. Mengingat keterbatasan personel di lapangan, partisipasi aktif dari semua pihak sangat dibutuhkan. Laporan pelanggaran, disertai bukti foto atau video, dapat disampaikan ke pos penjagaan atau melalui media sosial pengelola pendakian di bawah taman nasional.

"Kami akan menindaklanjuti dengan sanksi dan/atau denda sesuai peraturan. Upaya yang terus kami lakukan adalah patroli petugas, terutama saat masa liburan, pembinaan rutin bagi mitra dan penyelenggara open trip, travel operator, maupun base camp pendakian, sosialisasi etika pendakian dan SOP, dan penerapan sistem kuota yang ketat dan transparan," kata Nandang Pribadi.

Kementerian Kehutanan secara aktif melakukan patroli, pembinaan, sosialisasi, dan menerapkan sistem kuota yang ketat. Nandang Pribadi juga menekankan pentingnya etika dalam pendakian, yang menjadi fondasi bagi semua pihak, baik pendaki mandiri, open trip, porter, maupun penyelenggara. Ia mengajak semua orang untuk menjadi pendaki yang cerdas dan bertanggung jawab, yang tidak hanya mencapai puncak, tetapi juga menjaga kelestarian alam.

Sebelumnya, media sosial dihebohkan dengan video viral yang memperlihatkan seorang pendaki yang diminta untuk pindah area kemah karena lahan tersebut sudah dipesan. Kejadian ini terjadi di Pos Plawangan 2 Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat. Pendaki tersebut mengaku telah bertanya kepada porter yang ada di lokasi, namun kemudian didatangi dan dimarahi oleh porter lain yang mengklaim lahan tersebut sudah dipesan oleh temannya. Pemilik akun media sosial Tiga Dewa Adventure Indonesia membantah tuduhan tersebut dan mengklaim sudah melakukan investigasi dan evaluasi kinerja timnya.