Kwitang dan Senen: Nasib Suram Sentra Buku Bekas Jakarta di Tengah Hiruk Pikuk Ibu Kota
Jakarta, kota metropolitan yang tak pernah tidur, menyimpan ironi di dua sentra buku bekasnya yang legendaris: Kwitang dan Senen. Dulu, kedua lokasi ini adalah surga bagi para pencinta buku, tempat berburu literatur lawas dengan harga miring. Namun, kini, denyut kehidupan di sana terasa jauh melambat, terhimpit oleh geliat zaman dan hiruk pikuk ibu kota.
Di kawasan Pasar Senen, tepatnya di sekitar terminal, lapak-lapak buku bekas berjejer di sebuah bangunan pertokoan berwarna biru. Bangunan ini, yang terletak di sebelah pool JakLingko, tampak terisolasi dari keramaian pejalan kaki. Beton pembatas jalan dan area parkir motor semakin mempertegas jarak antara toko buku dan hiruk pikuk terminal. Suasana di depan lapak pun tak jauh berbeda, terkesan kumuh dengan road barrier, motor terparkir, dan gantungan baju pedagang pasar.
Ironisnya, di pagi hari, hanya segelintir lapak yang sudah buka. Sebagian besar pedagang baru memulai aktivitasnya menjelang siang. "Biasanya baru pada buka nanti siang," ujar seorang pemilik lapak buku bekas, mencerminkan ritme yang lambat di kawasan ini.
Tak jauh dari Terminal Senen, berdiri Pasar Buku Kwitang, yang pernah menjadi latar ikonik dalam film "Ada Apa Dengan Cinta?". Pasar ini, yang lebih menyerupai area pertokoan, terletak di persimpangan Jl. Kramat Raya dan Jl. Habib Ali Kwitang. Di sini, beberapa toko buku masih bertahan, menjajakan ribuan koleksi buku bekas.
Toko-toko ini, meski berukuran relatif kecil, dipenuhi dengan tumpukan buku. Sebagian buku tertata rapi di rak kayu, sementara sebagian lainnya dibiarkan menumpuk begitu saja. Ada yang masih terbalut sampul plastik, ada pula yang terbuka lebar. Namun, pemandangan yang menyedihkan adalah sepinya pengunjung. Hingga menjelang siang, tak terlihat seorang pun yang sekadar melintas atau melihat-lihat koleksi buku yang ada.
Suasana sunyi senyap menyelimuti kawasan ini. Tak ada percakapan antar pedagang, hanya deru mesin kendaraan yang sesekali memecah keheningan. Sebagian besar penjual buku bekas hanya bisa terpaku pada layar handphone, menunggu pelanggan yang tak kunjung datang. Mereka terperangkap di tengah keramaian kota Jakarta, dikelilingi tumpukan buku yang seolah menjadi saksi bisu kemunduran sebuah era.
Nasib Kwitang dan Senen menjadi cermin bagi tantangan yang dihadapi oleh toko buku bekas di era digital. Di tengah gempuran buku online dan e-book, sentra buku bekas ini harus berjuang keras untuk bertahan. Pertanyaannya, mampukah mereka menemukan cara untuk menarik kembali para pencinta buku dan menghidupkan kembali surga literasi yang mulai meredup ini?