Lee Jae-myung Resmi Menjabat Presiden Korea Selatan, Janji Bangkitkan Ekonomi dan Rekonsiliasi

Lee Jae-myung secara resmi dilantik sebagai Presiden Republik Korea dalam sebuah upacara khidmat di Majelis Nasional, Seoul, pada Rabu (4/6). Pengambilan sumpah jabatan ini menandai era baru bagi Korea Selatan, di tengah tantangan ekonomi dan polarisasi politik yang mendalam.

Dalam pidato pelantikannya, Presiden Lee menyampaikan komitmennya untuk membangkitkan kembali perekonomian negara yang tengah mengalami perlambatan. Proyeksi pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 0,8% menjadi perhatian utama pemerintahannya. Selain itu, ia juga menekankan pentingnya rekonsiliasi nasional, setelah gejolak politik akibat pemakzulan mantan Presiden Yoon Suk Yeol, yang sebelumnya memberlakukan darurat militer pada Desember 2024.

Presiden Lee menegaskan perlunya pemulihan demokrasi setelah periode "krisis darurat militer". Ia juga menyampaikan niatnya untuk membuka dialog dengan Korea Utara, dengan tujuan menjaga perdamaian dan stabilitas di Semenanjung Korea. "Betapapun tingginya biaya yang harus dibayar, perdamaian jauh lebih berharga daripada perang," ujarnya, menekankan prioritas diplomasinya.

Komisi Pemilihan Nasional secara resmi mengukuhkan Lee Jae-myung sebagai Presiden terpilih pada pukul 6:21 pagi waktu setempat. Proses transisi kekuasaan berlangsung cepat mengingat kekosongan jabatan presiden setelah pemakzulan Yoon Suk Yeol.

Perjalanan Hidup yang Inspiratif

Kisah hidup Lee Jae-myung adalah cerminan dari ketekunan dan perjuangan. Lahir dari keluarga yang kurang mampu, ia harus bekerja sejak usia dini untuk membantu perekonomian keluarga. Setelah lulus Sekolah Dasar, Lee bekerja di berbagai pabrik di Seongnam, kota satelit Seoul.

Sebuah kecelakaan kerja di pabrik sarung tangan baseball menyebabkan cedera permanen pada lengan kirinya. Dalam masa sulit tersebut, Lee bahkan sempat mencoba mengakhiri hidupnya. Namun, ia berhasil bangkit dan meraih beasiswa penuh di Universitas Chung-Ang Seoul, kemudian menjadi pengacara yang membela hak asasi manusia.

"Harapan dan tantangan selalu berjalan beriringan. Tantangan bukan untuk membuat kita menyerah, tetapi untuk menguji seberapa besar harapan kita," tulis Lee dalam memoarnya.

Perjalanan Politik yang Berliku

Lee Jae-myung terjun ke dunia politik pada tahun 2005, mengalami beberapa kekalahan sebelum akhirnya terpilih sebagai Walikota Seongnam pada tahun 2010 dan kembali terpilih pada tahun 2014. Ia kemudian menjabat sebagai Gubernur Provinsi Gyeonggi, wilayah dengan populasi terbesar di Korea Selatan yang mengelilingi Seoul, selama lebih dari tiga tahun.

Pada pemilihan presiden tahun 2022, Lee dikalahkan oleh Yoon Suk Yeol dengan selisih suara yang sangat tipis. Ia juga menghadapi berbagai tuduhan hukum, termasuk korupsi terkait proyek pengembangan properti dan pelanggaran undang-undang pemilu. Lee membantah semua tuduhan tersebut, mengklaim bahwa kasus-kasus tersebut bermotif politik.

Para ahli hukum berpendapat bahwa dengan terpilihnya Lee sebagai presiden, proses hukum terhadapnya akan ditangguhkan karena kekebalan presiden dan baru akan dilanjutkan setelah masa jabatannya berakhir pada tahun 2030.

Pengakuan Kekalahan dari Kubu Konservatif

Kim Moon Soo, kandidat utama dari kubu konservatif, mengakui kekalahannya dalam pemilihan presiden. Ia menyampaikan ucapan selamat kepada Lee Jae-myung dan menyatakan menerima pilihan rakyat dengan rendah hati. Lee mengucapkan terima kasih kepada para pemilih atas kepercayaan yang diberikan.

Sebelum pengakuan kekalahan dari Kim, hasil perhitungan suara sementara dan exit poll dari berbagai stasiun televisi menunjukkan keunggulan Lee dengan selisih yang signifikan. Dengan lebih dari 86% suara telah dihitung, Lee unggul dengan lebih dari 48% suara, sementara Kim memperoleh 42,7% suara.

Pemilu ini digelar setelah pemakzulan mantan Presiden Yoon Suk Yeol, yang berasal dari Partai Kekuatan Rakyat (PPP) konservatif. Lee Jae-myung menyatakan akan "maju dengan harapan dan memulai awal baru mulai saat ini."

Informasi Seputar Pemilu Korea Selatan

Sekitar 44,4 juta warga Korea Selatan berpartisipasi dalam pemilihan presiden mendadak ini. Pemilu ini diadakan setelah pemakzulan Yoon Suk Yeol. Konflik internal di tubuh partai konservatif menjadi salah satu faktor penyebab kegagalan Kim Moon Soo dalam menarik dukungan pemilih. Pemungutan suara berlangsung di 14.295 TPS di seluruh Korea Selatan.