Nestapa Warga Gaza Utara: Kelaparan dan Ketiadaan Bantuan di Tengah Konflik
Krisis kemanusiaan yang mendalam terus mencengkeram Gaza Utara, di mana ratusan ribu warga sipil berjuang untuk bertahan hidup di tengah konflik yang berkepanjangan. Kisah Hazem Lubbad, seorang mahasiswa yang kini terpaksa menjadi pengungsi internal, adalah cerminan dari penderitaan kolektif yang dialami oleh masyarakat Gaza. Sebelum perang, Hazem mencari nafkah sebagai pelayan restoran untuk membiayai pendidikannya. Kini, ia dan keluarganya berlindung di Sheikh Radwan, Gaza City, berjuang untuk mendapatkan makanan dan air bersih.
Serangan udara dan penembakan yang tak henti-hentinya telah memaksa banyak warga untuk mengungsi, namun pergerakan di wilayah tersebut sangat berbahaya. Hazem menggambarkan bagaimana mereka terpaksa makan apa pun yang tersedia, seringkali hanya sekali sehari, dengan menu seadanya seperti lentil atau pasta. Akses terhadap makanan semakin sulit sejak awal konflik, dan meskipun sebagian kecil bantuan telah mulai masuk, banyak warga di Gaza Utara belum merasakan manfaatnya. Bantuan yang ada tidak dapat menjangkau wilayah utara karena berbagai faktor.
Israel menuduh Hamas mencuri bantuan dan menggunakannya untuk kepentingan mereka. Akibatnya, perlintasan ditutup dan pengiriman bantuan dihentikan sejak Maret. Sementara, harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Sekilo tepung di pasar gelap dapat mencapai harga yang fantastis, di mana warga tidak mampu menjangkaunya. Hilangnya mata pencaharian akibat perang semakin memperburuk keadaan, membuat keluarga seperti Hazem semakin rentan.
Di tengah kesulitan ini, Hazem dan keluarganya berinisiatif membuat stasiun pengisian daya ponsel sederhana bertenaga surya untuk mendapatkan sedikit penghasilan. Namun, uang yang mereka peroleh tidak sebanding dengan harga barang yang terus melonjak. Bantuan yang masuk pun seringkali dijarah oleh orang-orang yang kelaparan atau dijual dengan harga yang sangat mahal.
Warga Gaza Utara juga menyaksikan dengan ngeri berita tentang jatuhnya korban jiwa di lokasi distribusi makanan di Gaza Selatan, yang dikelola oleh perusahaan swasta Amerika-Israel bernama Gaza Humanitarian Foundation (GHF). Sistem distribusi makanan baru ini menuai kritik dari PBB dan organisasi kemanusiaan lainnya, yang khawatir bahwa sistem ini tidak akan mampu memenuhi kebutuhan seluruh penduduk Gaza dan berpotensi digunakan sebagai alat kontrol.
Jonathan Whittall, kepala UN-OCHA, mengecam kelangkaan yang terjadi sebagai "penderitaan yang dirancang secara sengaja". Ia menekankan bahwa bantuan harus diberikan kepada semua warga sipil, tanpa memandang lokasi mereka. Selain kekurangan makanan, warga juga kesulitan mendapatkan air bersih dan gas untuk memasak, memaksa mereka untuk membakar sampah atau kayu dari bangunan yang hancur sebagai bahan bakar.
Insiden penembakan oleh pasukan Israel di dekat pusat distribusi bantuan juga menambah penderitaan warga. Palang Merah Internasional (ICRC) melaporkan bahwa rumah sakit lapangan mereka di Rafah menerima gelombang korban massal dengan luka tembak. Di tengah kekacauan dan bahaya, banyak warga yang mencoba mendapatkan bantuan secara putus asa.
Sementara itu, Hazem Lubbad dan keluarganya tetap bertahan di Sheikh Radwan, enggan mengungsi karena meyakini bahwa situasi di tempat lain pun tidak lebih baik. Mereka berupaya bertahan hidup dengan membuat roti dari pasta dan lentil yang dihaluskan, membagi-bagikannya secara terbatas kepada seluruh anggota keluarga. Stok makanan kaleng dan rempah-rempah yang mereka miliki pun semakin menipis. Bagi anak-anak, situasi ini sangat berat, karena mereka hanya bisa makan sekali sehari, tidak mencukupi kebutuhan mereka.
Kisah Hazem adalah gambaran nyata dari krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung di Gaza Utara, di mana warga sipil berjuang untuk bertahan hidup di tengah konflik dan ketiadaan bantuan yang memadai.
Berikut adalah poin-poin penting terkait krisis yang terjadi:
- Krisis pangan akut melanda Gaza Utara akibat konflik berkepanjangan.
- Akses bantuan kemanusiaan sangat terbatas dan tidak merata.
- Harga kebutuhan pokok melambung tinggi akibat kelangkaan.
- Warga sipil terpaksa mengambil tindakan ekstrem untuk bertahan hidup.
- Sistem distribusi bantuan yang ada menuai kritik dan kontroversi.
- Insiden kekerasan di sekitar lokasi distribusi bantuan semakin memperburuk situasi.
- Anak-anak adalah kelompok yang paling rentan dalam krisis ini.