Eks Pejabat KPK Ungkap Pengalaman Unik Jadi Pj Kepala Daerah: Dicap Mata-Mata hingga Atasi Anggaran Pilkada Kosong

Pengalaman unik mewarnai perjalanan sejumlah pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika ditugaskan sebagai Penjabat (Pj) kepala daerah di berbagai wilayah Indonesia. Mereka berbagi cerita menarik, mulai dari menghadapi kecurigaan sebagai 'mata-mata' pemerintah pusat hingga berjuang mengatasi masalah anggaran pilkada yang kosong.

Edi Suryanto, yang saat ini menjabat sebagai Direktur Koordinasi dan Supervisi Wilayah IV KPK, mengenang masa jabatannya sebagai Pj Wali Kota Pontianak. Ia mengaku sempat menjadi sasaran kecurigaan dari sejumlah tokoh masyarakat dan anggota DPRD setempat. Mereka mempertanyakan maksud penunjukan seorang pejabat KPK oleh pemerintah pusat, bahkan menudingnya sebagai 'mata-mata'.

"Ada dua tokoh, satu tokoh masyarakat dan satu unsur pimpinan DPRD Pontianak, sama bahasanya 'ini ngapain pemerintah pusat nyuruh orang KPK, mau mematai-matai kami ya?' begitu," ungkap Edi dalam sebuah diskusi yang diadakan di gedung KPK, Jakarta Selatan.

Edi kemudian berinisiatif menemui kedua tokoh tersebut untuk menjelaskan posisinya dan meredakan kecurigaan mereka. Ia berkelakar dengan mengatakan, "Masak KPK mengirim intel Melayu? Intel Melayu datang pakai jaket, jins terus pistolnya ditongolin."

Pengalaman berbeda dialami oleh Isnaini, Kepala Biro Keuangan KPK, yang pernah menjabat sebagai Pj Bupati Bangka. Ia menghadapi situasi pelik ketika pilkada di Kabupaten Bangka dimenangkan oleh kotak kosong. Akibatnya, tidak ada alokasi anggaran untuk pelaksanaan pilkada ulang. Isnaini harus memutar otak untuk mencari solusi agar kebutuhan anggaran pilkada dapat terpenuhi.

"Kabupaten Bangka itu yang menang adalah kotak kosong," ujarnya.

"Menghadapi situasi tersebut tentunya saya harus berpikir bagaimana dalam waktu yang singkat kebutuhan pendanaan pilkada itu dapat dipenuhi," sebutnya.

Isnaini mengambil langkah strategis dengan melakukan efisiensi anggaran di seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Namun, ia memastikan bahwa pemotongan anggaran pertama kali dilakukan pada anggaran bupati sendiri, sebagai bentuk komitmen dan contoh bagi yang lain.

"Saya sebagai Pj strateginya bagaimana nanti kalau seluruh OPD itu dipotong anggarannya, mereka tidak protes. Jadi strategi saya adalah saya bilang yang pertama kali yang dipotong adalah anggaran Bupati sendiri," lanjut dia.

Sementara itu, Budi Waluya, Direktur Pelayanan Laporan dan Pengaduan Masyarakat KPK, yang pernah menjabat sebagai Pj Bupati Ciamis, menyoroti kerawanan korupsi di tingkat desa. Ia mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil audit inspektorat daerah, banyak desa yang berpotensi terlibat dalam kasus korupsi, terutama terkait pengadaan barang dan jasa.

"Kemudian yang kita lihat dari hasil audit inspektorat daerah itu di desa banyak yang terkait, banyak yang potensi menjadi kasus," ungkapnya.

Budi juga menceritakan adanya kepala desa yang dicopot dari jabatannya karena terbukti melakukan penggelapan uang. Pencopotan tersebut merupakan respons atas desakan masyarakat yang sudah tidak lagi percaya pada kepala desanya.

Kisah-kisah ini memberikan gambaran tentang kompleksitas dan tantangan yang dihadapi oleh para pejabat KPK ketika ditugaskan sebagai Pj kepala daerah. Selain menjalankan tugas pemerintahan, mereka juga harus mampu membangun kepercayaan masyarakat, mengatasi masalah anggaran, dan mencegah terjadinya korupsi.

Selain Edi Suryanto, Isnaini, dan Budi Waluya, diskusi tersebut juga dihadiri oleh Direktur PP LHKPN KPK, Herda Helmijaya, yang pernah menjabat sebagai Pj Bupati Nagekeo NTT dan Kudus Jawa Tengah, serta Direktur Pendidikan dan Pelatihan Antikorupsi KPK, Yonathan Demme Tangdilintin, yang pernah menjabat sebagai Pj Bupati Mimika. Mereka juga berbagi pengalaman dan pandangan mereka terkait peran pejabat KPK sebagai Pj kepala daerah.