Prioritas Legislasi Terhambat: RUU Perlindungan Perempuan dan Adat Terbengkalai di Tengah Tarik Ulur Politik
Prioritas Legislasi Terhambat: RUU Perlindungan Perempuan dan Adat Terbengkalai di Tengah Tarik Ulur Politik
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyoroti lambannya proses legislasi sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) krusial yang berkaitan dengan perlindungan perempuan dan masyarakat adat selama periode DPR 2019-2024. Kemacetan ini, menurut Komnas Perempuan, merupakan cerminan dari tarik ulur kepentingan politik dan prioritas legislasi yang cenderung mengabaikan isu-isu hak asasi manusia yang mendesak. Padahal, beberapa RUU tersebut telah mendapat dukungan luas dan masuk dalam kategori prioritas nasional.
Catatan Tahunan (Catahu) 2024 Komnas Perempuan mencatat setidaknya tiga RUU yang mengalami kebuntuan:
-
RUU Masyarakat Hukum Adat (MHA): Meskipun masuk dalam daftar RUU Prioritas sejak tahun 2020, RUU ini gagal ditetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR hingga akhir periode 2024, sehingga harus memulai kembali proses legislasi dari awal pada periode selanjutnya. Kegagalan ini menghambat pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat sesuai dengan prinsip keadilan dan HAM.
-
RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT): RUU ini mendapatkan dukungan signifikan, termasuk dari Komnas Perempuan. Namun, RUU PPRT gagal mencapai pembahasan Tingkat I hingga masa jabatan DPR berakhir. RUU ini kini kembali ke tahap perencanaan legislasi untuk periode 2024-2029 dan baru ditetapkan sebagai RUU Prioritas pada tahun 2025. Keterlambatan ini meninggalkan jutaan pekerja rumah tangga tanpa payung hukum yang memadai.
-
RUU Narkotika: Meskipun telah melewati pembahasan Tingkat I di Komisi III DPR RI dan masuk dalam Program Legislasi Nasional 2025-2029, proses pengesahannya masih memerlukan waktu dan perhatian serius dari pihak legislatif.
Komnas Perempuan mendesak DPR periode 2024-2029 untuk memprioritaskan pembahasan dan pengesahan RUU PPRT dan RUU MHA. Kedua RUU ini dinilai sangat penting untuk memperkuat perlindungan hukum bagi kelompok rentan dan mewujudkan keadilan bagi seluruh warga negara.
Kenaikan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan
Ironisnya, lambannya pengesahan RUU perlindungan perempuan terjadi di tengah peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan. Data Catahu 2024 mencatat sebanyak 445.502 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke Komnas Perempuan dan mitranya, meningkat 9,77 persen (43.527 kasus) dibandingkan tahun 2023. Meskipun jumlah pengaduan ke Komnas Perempuan mengalami penurunan 4,48 persen menjadi 4.178 kasus, rata-rata masih ada 16 kasus yang dilaporkan setiap harinya. Fakta ini menunjukkan betapa mendesaknya upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan.
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, menekankan pentingnya tata kelola data yang baik untuk menyusun kebijakan yang efektif dalam menangani kekerasan berbasis gender. Sistem dokumentasi yang akurat dan terintegrasi menjadi kunci dalam memetakan masalah, merumuskan strategi, dan mengevaluasi keberhasilan program-program penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Kesimpulannya, lambannya proses legislasi RUU yang berkaitan dengan perlindungan perempuan dan masyarakat adat menunjukkan betapa pentingnya komitmen politik yang kuat untuk memprioritaskan hak asasi manusia. Peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan menjadi pengingat bahwa perlindungan hukum yang efektif dan cepat bukan sekadar janji, tetapi kebutuhan mendesak yang harus diwujudkan.