Penangkapan Duterte: ICC Tetapkan Mantan Presiden Filipina atas Tuduhan Kejahatan Kemanusiaan
Penangkapan Duterte: ICC Tetapkan Mantan Presiden Filipina atas Tuduhan Kejahatan Kemanusiaan
Penangkapan Rodrigo Duterte, mantan Presiden Filipina, di Manila pada Selasa (11/3/2025) menandai babak baru dalam kasus kejahatan terhadap kemanusiaan yang diajukan oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Penangkapan yang dilakukan berdasarkan surat perintah ICC ini terkait dengan kebijakan kontroversial Duterte dalam perang melawan narkoba yang menewaskan puluhan ribu orang selama masa jabatannya. Meskipun Filipina telah menarik diri dari ICC pada tahun 2019, ICC menegaskan yurisdiksinya atas kejahatan yang terjadi sebelum penarikan diri tersebut, termasuk insiden yang terjadi saat Duterte menjabat sebagai Walikota Davao.
Berdasarkan laporan AFP, Duterte didakwa atas kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan massal. Tindakan keras dalam perang melawan narkoba yang dilakukannya mengakibatkan kematian puluhan ribu warga sipil, sebagian besar berasal dari kalangan masyarakat miskin. Banyak korban tewas tanpa bukti yang cukup mengenai keterlibatan mereka dalam perdagangan narkoba. Penangkapan Duterte dilakukan oleh pihak kepolisian setelah kedatangannya di Bandara Internasional Manila usai melakukan perjalanan singkat ke Hong Kong. Ironisnya, selama berada di Hong Kong, Duterte sempat mengkritik penyelidikan ICC, namun ia menyatakan kesediaannya menerima penangkapan jika itu adalah takdirnya.
Pernyataan resmi dari istana kepresidenan mengkonfirmasi penangkapan dan menyatakan bahwa Duterte saat ini dalam keadaan sehat dan berada di bawah pengawasan medis. Meskipun Filipina telah beberapa kali menyatakan ketidaksediaan untuk bekerja sama dengan penyelidikan ICC, Wakil Menteri Komunikasi Kepresidenan, Claire Castro, menegaskan kewajiban pemerintah untuk mematuhi permintaan bantuan dari Interpol. Situasi ini menimbulkan dilema hukum dan politik yang kompleks di Filipina, mengingat popularitas Duterte di kalangan pendukungnya yang mengapresiasi pendekatan kerasnya dalam memberantas kejahatan.
Proses hukum yang panjang telah dilalui sebelum penangkapan ini. Filipina sempat meluncurkan penyelidikan formal pada September 2021, tetapi menangguhkannya dua bulan kemudian dengan alasan peninjauan kembali sejumlah kasus operasi narkoba. Penyelidikan dilanjutkan pada Juli 2023 setelah panel hakim ICC menolak keberatan Filipina terkait yurisdiksi. Meskipun dakwaan terkait operasi narkoba yang menyebabkan kematian telah diajukan secara lokal, hanya sembilan polisi yang dijatuhi hukuman, sebuah fakta yang menunjukkan kurangnya akuntabilitas dalam skala yang lebih besar.
Duterte, yang dikenal dengan pernyataan kontroversial dan seringkali dianggap sebagai 'pembunuh yang mengaku', pernah secara terang-terangan memerintahkan petugas untuk menembak mati tersangka narkoba jika nyawa mereka dalam bahaya. Ia bersikukuh bahwa tindakannya tersebut bertujuan untuk menyelamatkan keluarga dan mencegah Filipina menjadi 'negara politik narkotika'. Sikapnya yang tidak menunjukkan penyesalan atas tindakannya dalam pembukaan penyelidikan Senat Filipina terhadap perang narkoba pada bulan Oktober semakin memperkuat citranya yang kontroversial. Meskipun demikian, Duterte tetap mencalonkan diri kembali sebagai walikota Davao pada pemilihan mendatang, menunjukkan ambisi politiknya yang masih tetap ada.
Penangkapan ini menimbulkan berbagai pertanyaan tentang keadilan transisi, akuntabilitas atas pelanggaran HAM, dan implikasi politik di Filipina. Kasus ini akan diawasi secara ketat oleh komunitas internasional dan menjadi tolok ukur penting dalam upaya menegakkan hukum internasional dan hak asasi manusia.