Efektivitas Stimulus Ekonomi Rp 24,4 Triliun: Mampukah Dongkrak Pertumbuhan Ekonomi Indonesia?
Pemerintah Indonesia kembali mengumumkan paket stimulus ekonomi senilai Rp 24,4 triliun yang diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi pada Kuartal II 2025. Namun, kalangan ekonom mulai mempertanyakan efektivitas dari kebijakan yang berulang kali digulirkan ini, khususnya dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen.
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), berpendapat bahwa kelima insentif yang diberikan pemerintah kemungkinan tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, stimulus ini lebih bersifat temporer dan cenderung menguntungkan kelompok masyarakat menengah ke atas, karena memanfaatkan momentum liburan sekolah. Ia menyoroti data penerima Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang diambil dari peserta BPJS Ketenagakerjaan, yang berarti banyak pekerja informal seperti pengemudi ojek online dan kurir tidak terjangkau.
Bhima menyayangkan keputusan pemerintah untuk membatalkan diskon tarif listrik yang seharusnya menjadi pelengkap BSU. Ia berpendapat bahwa diskon listrik lebih menjangkau pekerja informal dan UMKM. Pengalaman pada Kuartal I 2025 menunjukkan bahwa stimulus serupa tidak mampu mendongkrak konsumsi masyarakat secara signifikan. Konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,89 persen, dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan justru melambat menjadi 4,87 persen dari 5,11 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa daya beli masyarakat belum pulih secara fundamental, sehingga stimulus yang diberikan hanya berfungsi sebagai penopang jangka pendek.
Syafruddin, seorang ekonom lainnya, juga menyoroti potensi tekanan fiskal akibat pemberian stimulus ekonomi yang berulang. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga April 2025 menunjukkan bahwa pendapatan negara baru mencapai 27 persen dari target, sementara defisit anggaran membengkak tajam. Dengan ruang fiskal yang semakin terbatas, stimulus tambahan dikhawatirkan akan memperberat beban anggaran tanpa memberikan dampak pertumbuhan yang sepadan.
Kisruh dalam implementasi stimulus, seperti pembatalan diskon tarif listrik setelah pengumuman awal, juga menimbulkan kekhawatiran. Perbedaan sikap antar kementerian terkait anggaran dan teknis pelaksanaan menciptakan ketidakpastian dan merusak kredibilitas pemerintah. Pembatalan diskon listrik dialihkan ke peningkatan BSU menjadi Rp 600.000 untuk periode Juni-Juli 2025.
Bhima menambahkan bahwa jika BSU hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar tanpa mendorong aktivitas ekonomi produktif, efek penggandanya akan terbatas. Pembatalan diskon listrik juga dapat mengurangi daya beli sebagian rumah tangga berpenghasilan tetap yang tidak memenuhi syarat sebagai penerima BSU.
Sebagai informasi, kelima insentif ekonomi yang digelontorkan pemerintah meliputi:
- Diskon transportasi umum (tarif pesawat dan tol)
- Bantuan sosial pangan
- Bantuan Subsidi Upah (BSU)
- Perpanjangan diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dari BPJS Ketenagakerjaan
Efektivitas dari paket stimulus ini akan menjadi penentu apakah Indonesia mampu mencapai target pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan.