Hukum Bekam dan Suntik Saat Berpuasa: Tinjauan Hukum Islam dan Pandangan Ulama
Hukum Bekam dan Suntik Saat Berpuasa: Tinjauan Hukum Islam dan Pandangan Ulama
Praktik bekam dan suntik sebagai metode pengobatan telah dikenal luas, baik dalam pengobatan tradisional maupun modern. Namun, pertanyaan mengenai hukum keduanya saat menjalankan ibadah puasa seringkali muncul di tengah umat Islam. Artikel ini akan mengkaji pendapat para ulama mengenai hukum bekam dan suntik selama berpuasa, dengan merujuk pada hadits dan kitab-kitab fikih terpercaya.
Hukum Bekam Saat Berpuasa
Bekam, atau hijamah, merupakan metode pengobatan tradisional yang telah dipraktikkan sejak zaman Rasulullah SAW. Bahkan, Rasulullah SAW sendiri diketahui pernah melakukan bekam. Terdapat hadits yang menyebutkan bahwa puasa seseorang yang melakukan atau menerima bekam dianggap batal. Hadits ini berbunyi, "Puasa orang yang berbekam dan yang minta dibekam adalah batal." (HR Ahmad). Namun, terdapat pula hadits lain yang menunjukkan keringanan bagi orang yang berpuasa untuk melakukan bekam. Hadits ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW berbekam dalam keadaan berihram dan berpuasa (HR Bukhari).
Perbedaan pendapat ini menimbulkan perdebatan di kalangan ulama. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits yang pertama lebih dahulu muncul, namun kemudian gugur karena adanya hadits yang memberikan keringanan. Jumhur ulama, atau mayoritas ulama, berpendapat bahwa bekam saat berpuasa diperbolehkan dan merupakan salah satu keringanan yang diberikan Rasulullah SAW. Oleh karena itu, praktik bekam saat berpuasa menjadi hal yang diperbolehkan dengan mempertimbangkan kondisi dan keadaan masing-masing individu.
Hukum Suntik Saat Berpuasa
Berbeda dengan bekam, suntik merupakan metode pengobatan modern yang melibatkan injeksi cairan ke dalam tubuh. Pendapat ulama mengenai hukum suntik saat berpuasa cenderung lebih seragam. Sebagian besar ulama menyatakan bahwa suntik untuk pengobatan pada prinsipnya diperbolehkan. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa masuknya obat melalui suntikan tidak melalui jauf (lubang) yang langsung menuju lambung atau perut, seperti mulut, hidung, dan telinga, melainkan melalui kulit.
Syekh Hasan Al-Kaff dalam kitab Taqrirat as-Sadidah fi Masail Al-Mufidah menjelaskan bahwa penggunaan jarum suntik pada saat puasa diperbolehkan dalam kondisi darurat. Suntik, menurut beliau, tidak membatalkan puasa secara mutlak karena dilakukan pada rongga tubuh (saluran) yang tidak terbuka (selain jauf). Lebih lanjut, jika suntik dilakukan pada otot vaskuler atau pembuluh darah yang bukan bagian anggota tubuh yang terbuka, maka tidak membatalkan puasa.
Kesimpulan
Hukum bekam dan suntik saat berpuasa memiliki perbedaan pendapat di kalangan ulama. Namun, mayoritas ulama memperbolehkan bekam dengan memperhatikan kondisi dan situasi. Sedangkan untuk suntik, mayoritas ulama berpendapat diperbolehkan karena tidak melalui jalan yang membatalkan puasa. Konsultasi dengan ulama atau ahli fikih yang berkompeten sangat dianjurkan untuk mendapatkan fatwa yang lebih rinci dan sesuai dengan kondisi masing-masing individu. Wallahu a'lam bis-shawab.