Ancaman Tambang Nikel Mengintai Surga Bawah Laut Raja Ampat
Raja Ampat, sebuah permata di ujung timur Indonesia, kini menghadapi ancaman serius terhadap kelestarian lingkungannya. Gugusan pulau yang terkenal dengan keindahan bawah lautnya ini terancam oleh rencana investasi tambang nikel yang digagas oleh anak perusahaan PT Aneka Tambang (Antam), sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Rencana ini menuai kecaman dari berbagai pihak, terutama organisasi lingkungan seperti Greenpeace, yang menilai proyek ini sebagai bentuk "perampasan ruang hidup ekologis".
Kawasan konsesi tambang yang diajukan oleh Antam mencakup lebih dari 13.000 hektar lahan yang beririsan langsung dengan ekosistem penting seperti hutan mangrove dan terumbu karang. Padahal, ekosistem ini memiliki peran vital sebagai carbon sink, penyerap karbon alami yang sangat dibutuhkan untuk memerangi perubahan iklim. Kajian ilmiah menunjukkan bahwa terumbu karang di Raja Ampat memiliki kemampuan luar biasa dalam menyerap karbon dioksida, mencapai 4,5 ton per hektar per tahun. Jika rencana tambang ini terealisasi, Indonesia berpotensi kehilangan kapasitas serapan karbon yang signifikan, setara dengan puluhan ribu ton CO2 per tahun, dengan kerugian ekonomi mencapai jutaan dollar AS.
Konflik Tata Ruang dan Erosi Kepercayaan
Masalah ini semakin pelik karena rencana tambang tersebut bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Raja Ampat yang telah menetapkan sebagian besar wilayahnya sebagai zona konservasi dan ekowisata terbatas. Pertanyaan pun muncul mengenai bagaimana izin tambang bisa diterbitkan di wilayah yang seharusnya dilindungi. Sorotan tajam tertuju pada Kementerian Investasi dan Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, yang menekankan pentingnya investasi strategis nasional. Namun, kalangan aktivis lingkungan khawatir bahwa prinsip kehati-hatian ekologis telah diabaikan demi mengejar pertumbuhan ekonomi.
Investigasi mengungkap keterlibatan konsultan lingkungan yang sebelumnya terlibat dalam proyek kontroversial seperti reklamasi Jakarta. Hal ini memunculkan dugaan adanya pola berulang dalam menormalisasi kerusakan lingkungan atas nama pembangunan. Ironisnya, Antam, sebagai BUMN yang seharusnya menjunjung tinggi kepentingan nasional, justru dituding melakukan eksploitasi lingkungan dengan kedok jargon hijau. Proses AMDAL yang dilakukan pun dinilai tidak transparan dan tidak melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat adat.
Suara Masyarakat Adat yang Terabaikan
Masyarakat lokal, yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Misool (AMAM), merasa tidak dilibatkan secara utuh dalam pengambilan keputusan. Dalam forum dengar pendapat, perwakilan masyarakat adat mengungkapkan bahwa konsultasi yang dilakukan bersifat sepihak dan hanya melibatkan pihak-pihak yang telah "didekati" oleh investor. Marthen Kalami, tokoh adat dari Kampung Fafanlap, dengan tegas menyatakan bahwa proyek ini bukan pembangunan, melainkan "perampasan atas tanah dan laut yang kami rawat ratusan tahun".
Dalam konteks kebijakan yang ada, BUMN seperti Antam tampaknya lebih fokus pada pertumbuhan ekonomi makro daripada pembangunan berkelanjutan. Pertanyaan mendasar yang belum terjawab adalah siapa pihak yang memberikan kelonggaran sehingga proyek tambang ini dapat berjalan? Dugaan keterlibatan "broker" politik lokal dan nasional, termasuk mantan tim sukses pemilu yang kini berada di badan pengelola investasi daerah, semakin memperburuk situasi dan memicu kecurigaan publik.
Nasib Raja Ampat menjadi cerminan tata kelola ruang dan lingkungan di Indonesia. Apa yang terjadi saat ini bisa menjadi preseden buruk bagi wilayah lain di Indonesia. Kerusakan lingkungan bukan lagi sekadar akibat ketidaktahuan, tetapi hasil dari kalkulasi yang cermat. Di tengah krisis iklim global, nilai sejati suatu wilayah bukan hanya terletak pada sumber daya yang bisa ditambang, tetapi pada kemampuannya untuk menyelamatkan bumi. Raja Ampat telah memberikan kontribusi besar dalam menyimpan karbon, dan kini saatnya kita bertanya: siapa yang akan menyelamatkan Raja Ampat dari ancaman kerusakan?