Tragedi Blatten: Desa di Swiss Lenyap Diterjang Longsor Salju Akibat Perubahan Iklim
Blatten, sebuah perkampungan yang dulunya memesona di lembah Lotschental, Swiss, kini hanya menjadi catatan sejarah. Desa yang terletak di jantung Pegunungan Alpen ini telah musnah akibat terjangan longsoran salju yang dahsyat.
Sebelumnya, Blatten dikenal sebagai destinasi peristirahatan ideal bagi para pelancong yang mencari ketenangan dan kedamaian. Udara segar pegunungan, rumah-rumah kayu tradisional khas Valais yang menawan, jalur-jalur pendakian yang menantang, dan gereja bersejarah yang berdiri kokoh di tengah panorama pegunungan yang indah, semua itu kini tinggal kenangan.
Bencana mengerikan itu terjadi pada Rabu, 28 Mei 2025. Keheningan desa itu hancur dalam sekejap mata ketika longsoran salju besar yang berasal dari Gletser Birch melanda dan menghancurkan hampir seluruh desa. Rumah-rumah tempat para wisatawan menginap, ladang-ladang pertanian yang subur, jalan-jalan setapak yang sering dilalui, dan bangunan-bangunan kuno yang menjadi saksi bisu perjalanan generasi demi generasi, semuanya rata dengan tanah dalam hitungan detik.
Untungnya, upaya evakuasi yang cepat dan terkoordinasi berhasil menyelamatkan sekitar 300 penduduk desa beserta seluruh hewan ternak mereka. Namun, sisa-sisa desa yang hancur, bersama dengan semua kenangan yang terikat padanya, kini terkubur di bawah timbunan batu dan es.
Profesor Martin Truffer, seorang ahli fisika terkemuka dari University of Alaska Fairbanks yang juga berasal dari Swiss, menjelaskan bahwa tragedi ini bukan sekadar bencana alam biasa. Menurutnya, runtuhnya lereng gunung di atas Gletser Birch disebabkan oleh mencairnya permafrost, yaitu lapisan tanah yang seharusnya tetap membeku sepanjang tahun.
Seiring dengan meningkatnya suhu global, permafrost kehilangan kestabilannya. Akibatnya, batuan-batuan yang dulunya tertahan oleh permafrost kini terlepas dan jatuh, memicu terjadinya longsor besar. Dalam kasus Blatten, batuan yang jatuh selama beberapa tahun terakhir sebenarnya menutupi permukaan gletser dan memperlambat proses pencairan es karena memberikan lapisan isolasi. Namun, beratnya puing-puing tersebut justru memicu pergerakan pada lapisan es di bawahnya, yang dalam beberapa minggu terakhir, pergerakannya meningkat secara tajam dan tak terkendali.
"Sangat jelas bahwa satu sisi gunung itu sepenuhnya berada dalam kondisi akan runtuh," kata Truffer.
Tragedi yang menimpa Blatten menjadi bukti nyata bahwa perubahan iklim bukan hanya tentang mencairnya es di Kutub Utara, tetapi juga merupakan ancaman langsung bagi permukiman manusia di wilayah-wilayah dataran tinggi. Gletser-gletser di Pegunungan Alpen, Himalaya, Andes, hingga Patagonia semakin tidak stabil. Akibatnya, tanah longsor, banjir bandang, dan jebolnya danau es secara tiba-tiba semakin sering terjadi.
Sebagai contoh, pada tahun 2022, longsor besar dari Gletser Marmolada di Italia yang disebabkan oleh gelombang panas ekstrem menewaskan 11 pendaki. Sementara itu, di Alaska, danau yang terbentuk dari pencairan gletser dapat pecah secara tiba-tiba dan menyebabkan banjir besar di wilayah hilirnya.
Peristiwa-peristiwa tragis ini adalah pengingat yang mengerikan akan dampak perubahan iklim yang semakin nyata dan mendesak. Perlunya tindakan global yang cepat dan terkoordinasi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan melindungi komunitas-komunitas rentan di seluruh dunia.