Eksplorasi Tambang Laut Dalam Menuai Sorotan, PBB Serukan Pengawasan Ketat
Konferensi Kelautan PBB di Nice, Prancis, menjadi ajang perdebatan sengit mengenai masa depan eksploitasi sumber daya laut dalam. Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, dalam pidatonya menekankan perlunya regulasi yang ketat untuk mencegah laut dalam menjadi wilayah tanpa hukum. Kekhawatiran ini muncul seiring dengan meningkatnya minat global terhadap penambangan dasar laut, yang menyimpan mineral-mineral penting namun berpotensi merusak ekosistem laut yang rapuh.
Beberapa negara, seperti Norwegia dan Amerika Serikat di bawah pemerintahan sebelumnya, telah menyatakan ketertarikannya untuk menjajaki potensi ekonomi dari dasar laut. Akan tetapi, langkah ini memicu kontroversi karena dampak lingkungan jangka panjangnya masih belum sepenuhnya dipahami. Presiden Prancis, Emmanuel Macron, secara tegas menentang eksploitasi dasar laut dan menyerukan moratorium global untuk aktivitas penambangan. Ia menganggap bahwa memulai kegiatan ekonomi yang bersifat predator di dasar laut sama saja dengan merusak keanekaragaman hayati dan melepaskan penyerap karbon yang tak tergantikan. Baginya, wilayah seperti laut dalam, Greenland, dan Antartika bukanlah komoditas yang bisa diperjualbelikan.
Senada dengan Macron, Presiden Brasil, Luiz Inacio Lula da Silva, mendesak Otoritas Dasar Laut untuk mengambil tindakan konkret guna menghentikan perlombaan global dalam mencari mineral penting di dasar laut. Ia mengingatkan agar unilateralisme yang merugikan perdagangan internasional tidak terulang di lautan.
Di sisi lain, konferensi ini juga menyoroti kemajuan dalam upaya perlindungan laut global. Pakta global untuk melindungi kehidupan laut di perairan internasional, yang disepakati pada tahun 2023, hampir mencapai ambang ratifikasi yang diperlukan untuk diberlakukan. Hal ini menjadi angin segar bagi upaya konservasi laut secara global.
Konferensi Kelautan PBB di Nice dihadiri oleh lebih dari 60 kepala negara dan pemerintahan, serta ribuan pemimpin bisnis, ilmuwan, dan aktivis. Berbagai komitmen baru diharapkan lahir dari pertemuan ini. Inggris, misalnya, mengumumkan pelarangan sebagian praktik penangkapan ikan dengan pukat dasar di setengah dari kawasan perlindungan lautnya. Praktik ini dikecam karena merusak dasar laut secara indiscriminatif.
Prancis juga berjanji untuk membatasi penggunaan pukat harimau di beberapa kawasan perlindungan laut. Namun, sejumlah kelompok lingkungan menilai bahwa kebijakan ini belum cukup untuk melindungi ekosistem laut secara menyeluruh. Sementara itu, negara kepulauan Samoa telah mengambil langkah progresif dengan melindungi 30 persen wilayah perairannya melalui pembentukan sembilan taman laut.
Saat ini, hanya sekitar 8 persen lautan global yang masuk dalam kawasan konservasi laut, jauh dari target global sebesar 30 persen pada tahun 2030. Selain itu, efektivitas perlindungan di banyak kawasan masih diragukan karena kurangnya peraturan yang memadai dan pendanaan untuk penegakan hukum. Oleh karena itu, konferensi ini juga menjadi ajang untuk mendesak peningkatan pendanaan konservasi laut.
Negara-negara kepulauan kecil, yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim dan kerusakan lingkungan laut, hadir dalam jumlah besar di konferensi ini. Mereka menyerukan dukungan politik dan finansial untuk mengatasi tantangan seperti naiknya permukaan laut, sampah laut, dan penjarahan stok ikan.
Walaupun tidak menghasilkan perjanjian yang mengikat secara hukum seperti Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP), Konferensi Nice berpotensi menjadi titik balik penting dalam konservasi lautan global. Namun, keberhasilan ini sangat bergantung pada kemauan para pemimpin dunia untuk mengambil tindakan nyata.
Presiden Palau, Surangel Whipps Jr., mewakili negara-negara Pasifik yang paling rentan terhadap krisis laut, menegaskan bahwa keseriusan dalam melindungi lautan harus dibuktikan dengan tindakan nyata.