Eropa Kembangkan Teknologi Gerhana Matahari Buatan untuk Ungkap Misteri Korona

Para ilmuwan dari Badan Antariksa Eropa (ESA) tengah mengembangkan teknologi inovatif untuk menciptakan gerhana matahari buatan. Inisiatif ini bertujuan untuk mempelajari lebih dalam korona Matahari, lapisan terluar atmosfer Matahari yang menyimpan banyak misteri.

Korona Matahari, yang jutaan derajat lebih panas dari permukaan Matahari, merupakan sumber angin Matahari, cuaca antariksa, dan lontaran massa korona (CME). CME dapat mengganggu sistem komunikasi, elektronik, dan kelistrikan di Bumi. Memahami korona Matahari sangat penting untuk memprediksi dan mengurangi dampak dari fenomena antariksa ini.

Metode konvensional untuk mempelajari korona Matahari, seperti menggunakan teleskop berbasis darat dan luar angkasa dengan cakram okultisme, memiliki keterbatasan. Difraksi, fenomena yang menyebabkan cahaya merembes ke tepi cakram, dapat merusak gambar mahkota Matahari yang dihasilkan. Untuk mengatasi masalah ini, ESA mengembangkan teknologi yang menggunakan dua pesawat ruang angkasa yang terpisah.

Misi Proba-3 ESA akan melibatkan dua satelit, Occulter dan Coronagraph, yang akan terbang dalam formasi yang sangat presisi. Satelit Occulter akan bertindak sebagai "Bulan buatan" dan menciptakan gerhana dengan menghalangi cahaya Matahari, memungkinkan Coronagraph untuk mengukur atmosfer Matahari pada jarak 1,1-3 jari-jari Matahari dari bintang. Jarak antara kedua satelit akan sekitar 150 meter, menciptakan instrumen virtual raksasa.

"Kedua pesawat ruang angkasa itu akan bertindak seolah-olah mereka adalah satu instrumen raksasa sepanjang 150 meter," kata Director of Technology, Engineering and Quality ESA, Dietmar Pilz. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa mencapai hal ini akan sangat menantang secara teknis, karena ketidakselarasan sekecil apa pun dan itu tidak akan berhasil.

Keuntungan utama dari gerhana buatan ini adalah durasinya. Proba-3 akan mampu menciptakan gerhana hingga enam jam dalam satu waktu, jauh lebih lama daripada gerhana alami. Peristiwa ini akan terjadi secara otomatis setiap 19 jam 36 menit, ketika pesawat mencapai puncak orbitnya yang sangat elips, yang mencapai jarak 60.527 km dari permukaan Bumi.

Teknologi ini juga akan memungkinkan penerbangan formasi presisi tingkat baru yang diturunkan ke akurasi tingkat milimeter berkat kombinasi teknologi penentuan posisi. Ini akan mencakup navigasi satelit, tautan berbasis radio, kamera cahaya tampak yang mempertajam posisi LED, bahkan sinar laser yang dipantulkan bolak-balik antara kedua pesawat. ESA mengatakan, mendemonstrasikan penerbangan luar angkasa yang tepat akan memungkinkan era baru bagi sains dan aplikasi.

Selain memberikan pandangan baru tentang korona Matahari, misi Proba-3 juga akan menjadi pembuktian konsep penerbangan formasi presisi tingkat baru. Hal ini dapat membuka jalan bagi misi masa depan yang melibatkan struktur yang lebih besar di luar angkasa, seperti radio raksasa di orbit dan susunan interferometri optik.

Misi Proba-3 diperkirakan akan berlangsung selama dua tahun, atau mungkin lebih lama, jika bahan bakar yang dibutuhkan untuk penerbangan formasi tersebut tidak habis pada akhir periode ini. Saat ini, kedua pesawat Proba-3 sedang menjalani pengujian pra-penerbangan di Redwire Space Facility di Kruibeke, Belgia.