KKP Evaluasi Ulang Aturan Pemanfaatan Pulau Kecil Pasca Polemik Tambang Nikel di Raja Ampat
KKP Meninjau Ulang Regulasi Pulau-Pulau Kecil Menyusul Kontroversi Pertambangan Nikel di Raja Ampat
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengambil langkah proaktif untuk mengevaluasi kembali regulasi yang mengatur pemanfaatan pulau-pulau kecil di Indonesia. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap polemik yang muncul akibat aktivitas penambangan nikel di Raja Ampat oleh sejumlah perusahaan yang memegang Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Direktur Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil KKP, Ahmad Aris, menyatakan bahwa peninjauan ulang ini bertujuan untuk mengharmonisasikan berbagai peraturan yang ada, menghindari tumpang tindih, terutama antara peraturan antar kementerian dan pemerintah daerah. Dengan adanya keselarasan regulasi, diharapkan kasus serupa di Raja Ampat dapat dicegah di masa mendatang, karena aturan terkait pemanfaatan pulau-pulau kecil menjadi lebih jelas, termasuk proses perizinannya.
"KKP akan melakukan review terhadap peraturan yang terkait di pulau-pulau kecil. Supaya terjadi harmonisasi. Jadi jangan sampai undang-undang ini tidak sinkron antara undang-undang yang ada," ujar Aris.
Ia menjelaskan bahwa pulau-pulau di Raja Ampat yang menjadi lokasi pertambangan nikel sebenarnya termasuk dalam kategori pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 kilometer persegi, bahkan sebagian sangat kecil dengan luas di bawah 10.000 hektar. Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2014, pulau-pulau tersebut seharusnya diprioritaskan untuk konservasi, pendidikan, penelitian, budidaya laut, pariwisata, perikanan berkelanjutan, pertanian organik, peternakan, serta pertahanan dan keamanan negara. Pemanfaatan untuk kegiatan pertambangan seharusnya menjadi prioritas kesekian.
Pasal 23 UU Nomor 1 Tahun 2014 secara tegas menyebutkan prioritas pemanfaatan pulau-pulau kecil. Selain itu, UU Nomor 27 Tahun 2007 Pasal 35 ayat K melarang penambangan mineral di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil jika secara teknis, ekologis, sosial, atau budaya dapat menimbulkan kerusakan atau pencemaran lingkungan, serta merugikan masyarakat sekitar. Aktivitas tambang di Raja Ampat berpotensi mengganggu ekosistem pesisir akibat sedimentasi.
"Bahkan itu sudah ada putusan MK (Mahkamah Konstitusi) bahwa itu tidak diperbolehkan," kata Aris.
Ketidaksinkronan Kewenangan dan Perizinan
Permasalahan yang muncul di Raja Ampat juga disebabkan oleh perbedaan kewenangan antar kementerian dan lembaga. Sistem perizinan OSS (Online Single Submission) memberikan kewenangan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk memanfaatkan lokasi tersebut, sementara KKP hanya berwenang memberikan izin di Areal Penggunaan Lain (APL).
"Secara Undang-Undang Cipta Kerja, kewenangan KKP untuk memberikan izin dan rekomendasi itu tidak ada pembatasan. Jadi kawasan hutan pun diperbolehkan. Tetapi di dalam sistem OSS langsung dibedakan," jelasnya.
"Ketika dia itu APL maka diteruskan ke KKP untuk mendapatkan izin dan rekomendasi. Ketika itu hutan, ya itu kewenangan full di Hutan (KLHK) katanya karena peruntukannya hutan. Seolah-olah kalau hutan pasti tidak ada dampak gitu," sambungnya.
Aris menambahkan, harmonisasi kewenangan KKP dalam pemberian izin, tidak hanya di APL tetapi juga di kawasan hutan, perlu dikoordinasikan dengan pengelola OSS, yaitu Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Pencabutan IUP dan Pengawasan Ketat
Polemik tambang nikel di Raja Ampat mencuat karena kekhawatiran akan kerusakan lingkungan di kawasan yang kaya akan keanekaragaman hayati. Pemerintah telah mencabut empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan tambang nikel di kawasan tersebut, yaitu PT Anugerah Surya Pratama, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond, dan PT Nurham.
Sementara itu, IUP untuk PT Gag tidak dicabut karena perusahaan tersebut telah melakukan eksplorasi tambang di Raja Ampat sejak 1972. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa pemerintah akan mengawasi dengan ketat pelaksanaan kegiatan pertambangan nikel oleh PT Gag di Raja Ampat.
"Sekalipun (IUP) Gag tidak kita cabut, tetapi kita atas perintah Bapak Presiden kita mengawasi khusus dalam implementasinya," kata Bahlil.