Eksploitasi Kepercayaan: Pengasuh Ponpes di Sumenep Diduga Cabuli Belasan Santri
Kasus dugaan pencabulan yang melibatkan seorang pengasuh pondok pesantren (ponpes) di Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, menggemparkan publik. Polres Sumenep telah mengungkap modus operandi yang digunakan pelaku, yang berinisial S, dalam melancarkan aksinya terhadap para santrinya.
Terungkapnya kasus ini bermula dari laporan seorang korban berinisial F, yang kemudian ditindaklanjuti dengan pemeriksaan intensif oleh penyidik. Dalam pengakuannya, F menceritakan bagaimana pelaku memanggilnya untuk mengantarkan air dingin ke kamar pribadinya. Di dalam kamar itulah, dugaan tindakan pencabulan terjadi. Korban mengaku tidak berani melawan karena pelaku adalah sosok yang memiliki otoritas dan kekuasaan sebagai pengasuh sekaligus pemilik pondok pesantren.
Setelah melakukan perbuatan bejat tersebut, pelaku mengancam korban agar tidak menceritakan kejadian tersebut kepada siapa pun. Namun, selang beberapa hari, pelaku kembali mengulangi perbuatannya dengan modus yang sama. Ancaman serupa kembali dilontarkan untuk membungkam korban.
Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Satuan Reskrim Polres Sumenep kemudian melakukan pengembangan kasus dan menemukan fakta yang lebih mengejutkan. Ternyata, F bukan satu-satunya korban. Hasil penyelidikan menunjukkan bahwa ada sembilan santri lainnya yang juga menjadi sasaran tindakan asusila oleh pelaku.
Daftar Modus Operandi:
- Meminta korban mengantarkan air dingin ke kamar pribadi.
- Melakukan tindakan pencabulan di dalam kamar.
- Mengancam korban agar tidak menceritakan kejadian tersebut kepada siapapun.
Menindaklanjuti laporan dan pengakuan para korban, polisi melakukan pengejaran terhadap pelaku yang sempat melarikan diri ke luar kota. Akhirnya, pada tanggal 10 Juni 2025, S berhasil diringkus di Desa Kesambi Rampak, Kecamatan Kapongan, Kabupaten Situbondo. Penangkapan ini dilakukan berdasarkan Laporan Polisi (LP) dengan nomor LP/B/28/VI/2025/SPKT/Polsek Kangean/Polres Sumenep/Polda Jawa Timur, tertanggal 3 Juni 2025. Kasus ini menjadi bukti bahwa penyalahgunaan kekuasaan dan eksploitasi kepercayaan di lingkungan pendidikan agama dapat terjadi dan menimbulkan trauma mendalam bagi para korban.