Polemik Tambang Raja Ampat: Erosi Kepercayaan Publik di Tengah Klaim Pemerintah

Kontra-Narasi Tambang Raja Ampat: Erosi Kepercayaan Publik di Tengah Klaim Pemerintah

Klaim pemerintah, yang diwakili oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, bahwa informasi mengenai pencemaran lingkungan akibat aktivitas pertambangan di Raja Ampat adalah tidak benar, memicu gelombang skeptisisme di kalangan masyarakat. Setelah kunjungan langsung ke lokasi, pemerintah menggelar konferensi pers yang disertai dengan visual yang dilabeli "hoaks" pada foto Piaynemo, ikon Raja Ampat yang diklaim telah rusak akibat pertambangan.

Pemerintah bersikeras bahwa terumbu karang tetap lestari, tidak ada pencemaran, dan semua kegiatan pertambangan telah sesuai dengan prosedur yang berlaku. Namun, narasi ini tidak sepenuhnya diterima oleh masyarakat, terutama di media sosial. Analisis dari Drone Emprit menunjukkan bahwa sentimen negatif warganet terhadap isu pertambangan nikel di Raja Ampat mencapai 95 persen. Angka ini bukan hanya tinggi, tetapi juga mencerminkan adanya krisis kepercayaan publik terhadap pernyataan resmi pemerintah.

Mengapa narasi tandingan pemerintah justru menuai ketidakpercayaan yang begitu besar? Salah satu alasannya adalah sejarah panjang kerusakan lingkungan akibat industri ekstraktif di Indonesia. Mulai dari pertambangan emas di Papua, batu bara di Kalimantan, hingga nikel di Sulawesi, semuanya meninggalkan jejak luka ekologis yang belum sepenuhnya teratasi. Izin pertambangan yang dikeluarkan seolah menutupi kerusakan yang ada, tetapi data dan fakta di lapangan berbicara lain. Oleh karena itu, ketika izin tambang diberikan di Raja Ampat, kawasan yang dikenal sebagai surga laut dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, reaksi keras dari publik tidak terhindarkan.

Penolakan ini tidak hanya datang dari warga lokal dan aktivis lingkungan, tetapi juga dari masyarakat luas yang menganggap isu ini bukan hanya persoalan Papua, tetapi juga citra Indonesia di mata dunia. Pemerintah melabeli konten media sosial yang memperlihatkan kerusakan alam sebagai "hoaks". Namun, penggunaan label ini, tanpa didukung oleh bukti yang kuat dan independen, justru dapat menjadi bumerang. Dalam konteks komunikasi publik, menuduh sesuatu sebagai hoaks tanpa membuka data secara transparan dapat menimbulkan asumsi bahwa pemerintah sedang menyembunyikan sesuatu.

Hal ini diperparah dengan sikap defensif pemerintah yang lebih memilih untuk membungkam kritik daripada membuka ruang dialog ilmiah. Contohnya, alih-alih melibatkan peneliti independen, pemerintah memilih untuk menggelar konferensi pers tunggal dengan Menteri ESDM sebagai satu-satunya narasumber. Padahal, transparansi yang sesungguhnya tidak hanya dilakukan melalui safari media, tetapi juga dengan melibatkan partisipasi publik, khususnya masyarakat adat dan komunitas ilmiah.

Isu pertambangan di Raja Ampat bukan hanya tentang izin usaha pertambangan (IUP) atau nilai investasi. Lebih dari itu, isu ini menyentuh aspek keadilan ekologis, pengakuan hak-hak masyarakat adat, dan keberlanjutan generasi. Raja Ampat bukan hanya sekadar pulau-pulau indah, tetapi juga merupakan wilayah kelola masyarakat adat yang telah menjaga laut dan karangnya selama ratusan tahun.

Oleh karena itu, ketika pemerintah menyatakan "tidak ada kerusakan", masyarakat lokal bertanya: suara siapa yang didengar? Apakah suara masyarakat kampung, nelayan, dan perempuan adat yang terdampak sudah dipertimbangkan? Narasi tandingan pemerintah menjadi tidak efektif jika tidak menyentuh realitas hidup mereka yang paling terdampak. Lebih jauh lagi, narasi pemerintah kehilangan daya persuasinya ketika publik menyadari bahwa izin tambang nikel tetap ada, dan hal ini membuka potensi kerusakan ekologis di masa depan.

Sentimen negatif yang mencapai 95 persen terhadap pemerintah dalam isu ini mengindikasikan sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar perbedaan pendapat. Ini adalah sinyal adanya krisis legitimasi, di mana publik tidak lagi sepenuhnya percaya pada apa yang dikatakan oleh negara. Kita hidup di era di mana keterbukaan data, partisipasi publik, dan akuntabilitas lingkungan menjadi indikator utama. Jika pemerintah terus menggunakan pendekatan top-down, berbicara dari podium alih-alih dari lapangan, maka narasi tandingan tidak akan meredam, tetapi justru akan memicu ketidakpercayaan.

Untuk memulihkan kepercayaan publik, pemerintah perlu mengubah pendekatannya. Pertama, pemerintah harus membuka data izin tambang dan studi AMDAL secara transparan kepada publik. Kedua, pemerintah perlu melibatkan lembaga-lembaga independen seperti LIPI (BRIN), WALHI, atau universitas yang ada di Papua untuk melakukan penilaian dampak lingkungan secara objektif. Ketiga, pemerintah perlu menghentikan sementara aktivitas pertambangan di lokasi yang dipersoalkan sambil menunggu audit lingkungan dilakukan. Terakhir, pemerintah perlu menempatkan masyarakat adat sebagai subjek, bukan objek.

Pemerintah harus menghentikan proyek-proyek ekstraktif yang hanya menjadikan Papua sebagai sumber bahan mentah tanpa memperhatikan nasib penduduknya. Raja Ampat bukan hanya milik Papua Barat Daya, tetapi juga milik dunia. Ia adalah warisan ekologis, simbol kekayaan laut Indonesia yang tak ternilai harganya. Pertambangan di sana, meskipun sesuai dengan prosedur, tetap harus dipertanyakan dari sisi etika ekologis. Dalam isu lingkungan hidup, aspek legalitas saja tidak cukup; yang utama adalah apakah tindakan tersebut pantas dilakukan.

Ketika rakyat berkata "jangan ditambang", negara seharusnya tidak terburu-buru mengatakan "hoaks". Negara memiliki kewajiban untuk mendengar, bukan hanya sekadar berbicara.

  • Buka data izin tambang dan studi AMDAL secara publik
  • Libatkan lembaga-lembaga independen
  • Hentikan sementara aktivitas tambang
  • Tempatkan masyarakat adat sebagai subjek