Ramadhan di Negeri Sakura: Kisah Seorang Muslim Indonesia Menjalani Puasa Pertama di Tengah Pandemi Jepang

Ramadhan di Negeri Sakura: Kisah Seorang Muslim Indonesia Menjalani Puasa Pertama di Tengah Pandemi Jepang

Eka (30), seorang warga Indonesia yang telah enam tahun merantau di Jepang, membagikan pengalaman uniknya menjalani Ramadhan pertama di negara tersebut, tepatnya pada tahun 2020 di tengah pandemi Covid-19. Bertempat tinggal di Shibuya, jantung kota Tokyo, aksesibilitasnya ke Masjid Tokyo Camii yang mudah, membuatnya dapat dengan nyaman menjalankan ibadah selama bulan suci tersebut. Kedekatan geografis ini memungkinkannya untuk menunaikan shalat Subuh dan berbuka puasa di masjid tersebut setiap harinya.

Namun, pandemi telah mengubah dinamika Ramadhan di Jepang. Pembatasan sosial yang diterapkan secara ketat berdampak signifikan pada suasana spiritual selama bulan Ramadhan. Jumlah jamaah yang berbuka puasa di Masjid Tokyo Camii mengalami penurunan drastis, hanya sekitar sepertiga dari jumlah jamaah di tahun-tahun berikutnya. Eka membandingkan situasi ini dengan kondisi di Indonesia, yang menurutnya, penerapan pembatasan sosial selama Ramadhan jauh lebih ketat. Meskipun demikian, semangat kebersamaan tetap terjaga, meskipun dalam skala yang lebih kecil dan dengan protokol kesehatan yang ketat. Di Masjid Tokyo Camii, jamaah menjalankan shalat dengan menjaga jarak antar saf, sebuah pemandangan yang bahkan direkam oleh seorang kameramen untuk memastikan kepatuhan terhadap protokol kesehatan.

Meskipun adanya pembatasan, pengalaman berpuasa Eka justru terasa berbeda. Kurangnya jumlah jamaah berdampak positif pada antrean yang lebih pendek saat berbuka puasa. Sistem prasmanan yang diterapkan memungkinkan jamaah untuk mengambil makanan sesuai kebutuhan, menciptakan suasana yang lebih santai dan leluasa. Berbuka puasa pun dilakukan di area depan masjid, bukan di ruangan khusus, menambah kesan kekeluargaan dan informal. Jamaah duduk dalam kelompok kecil, menciptakan suasana yang lebih intim dan akrab.

Ibadah Tarawih di Masjid Tokyo Camii juga memiliki keunikan tersendiri. Eka menjelaskan bahwa tidak ada ceramah sebelum shalat Tarawih. Pengurus masjid memberikan informasi untuk melaksanakan shalat sunnah sebelum shalat Isya, dilanjutkan dengan shalat Isya berjamaah, lalu shalat ba'diyah sebelum akhirnya melaksanakan shalat Tarawih 20 rakaat. Eka mengapresiasi kualitas bacaan imam masjid yang menurutnya sangat baik, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat, membuat ibadah terasa khusyuk dan nyaman.

Eka juga merasakan perbedaan waktu ibadah di Jepang. Waktu sahur lebih cepat dan waktu berbuka puasa juga relatif lebih cepat dibandingkan di Indonesia. Hal ini, menurutnya, membuat puasa terasa lebih ringan. Selain itu, perubahan jam kerja di perusahaannya selama pandemi, yang dimulai lebih awal pukul 08.30, memberinya waktu luang untuk pulang lebih cepat dan berbuka puasa di masjid. Bahkan di luar Ramadhan, Eka tetap rutin mengunjungi Masjid Tokyo Camii, menikmati kemudahan akses dan kenyamanan beribadah di masjid tersebut, sekalipun berada di negara dengan mayoritas penduduk non-Muslim.

Pengalaman Eka selama Ramadhan di Jepang, terutama di tengah pandemi, menunjukkan bagaimana adaptasi dan semangat beribadah tetap dapat terjaga meskipun dalam kondisi yang menantang. Kisahnya menjadi bukti nyata bahwa kehadiran komunitas muslim dan kemudahan akses terhadap tempat ibadah menjadi faktor penting dalam menjaga keimanan dan menjalankan ibadah di tengah lingkungan yang berbeda budaya dan agama.