Tingkat Pengangguran di Jawa Tengah: Analisis Mendalam dan Upaya Penanggulangan

Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah mencatat adanya 950 ribu penduduk usia kerja di provinsi tersebut yang berstatus pengangguran pada Februari 2025. Angka ini setara dengan 4,33 persen dari total angkatan kerja. Meskipun demikian, terjadi penyerapan tenaga kerja sebanyak 515 ribu orang dalam kurun waktu setahun terakhir.

Kepala BPS Jawa Tengah, Endang Tri Wahyuningsih, menyampaikan bahwa dibandingkan dengan Februari tahun sebelumnya, terjadi sedikit peningkatan jumlah pengangguran. Pada tahun 2024, tercatat 0,94 juta pengangguran atau 4,39 persen, sedangkan pada tahun 2025 angkanya menjadi 0,95 juta atau 4,33 persen. Ini menunjukan bahwa upaya untuk menekan angka pengangguran perlu terus ditingkatkan.

Distribusi pengangguran di Jawa Tengah tidak merata. Kabupaten Brebes mencatat tingkat pengangguran tertinggi, yaitu 8,35 persen. Diikuti oleh Cilacap dengan 7,83 persen dan Tegal sebesar 7,53 persen. Sebaliknya, Rembang, Wonogiri, dan Temanggung memiliki tingkat pengangguran terendah, masing-masing 2,84 persen, 2,4 persen, dan 2,35 persen.

Endang menekankan pentingnya peran sektor industri dalam menciptakan lapangan kerja. Ia mendorong pengembangan kawasan industri di Batang, Kendal, dan Rembang, agar dapat menarik investasi dan menyerap lebih banyak tenaga kerja lokal. Sektor industri pengolahan dan perdagangan menjadi penyumbang terbesar dalam peningkatan tenaga kerja, dengan masing-masing sekitar 0,53 juta dan 0,21 juta orang.

Pergeseran juga terlihat dalam proporsi pekerja formal dan informal. Meskipun pekerja informal masih mendominasi dengan 60,45 persen, proporsi pekerja formal mengalami peningkatan sejak Februari 2021, mencapai 39,55 persen. Hal ini didorong oleh meningkatnya jumlah pekerja dengan status buruh, karyawan, atau pegawai.

Dari segi pendidikan, lulusan SMK mendominasi angka pengangguran tertinggi, yaitu 6,83 persen, diikuti oleh lulusan S1 sebesar 5,44 persen. Namun, kabar baiknya, angka pengangguran di kalangan lulusan SMK mengalami penurunan signifikan sejak Februari 2021, dari 12,36 persen menjadi 6,83 persen.

Endang menekankan pentingnya sinkronisasi antara kurikulum pendidikan di SMK dan perguruan tinggi dengan kebutuhan industri. Upaya link and match antara dunia pendidikan dan dunia kerja perlu terus ditingkatkan agar lulusan memiliki keterampilan yang relevan dan siap kerja.