Sindikat Penyelundupan Benih Lobster di Soekarno-Hatta Dibongkar, Kerugian Negara Capai Miliaran Rupiah

Aparat kepolisian berhasil mengungkap jaringan penyelundupan benih lobster yang beroperasi melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Soetta). Pengungkapan kasus ini bermula dari informasi adanya dugaan pengiriman ilegal benih bening lobster (BBL) melalui gudang kargo di area bandara. Dalam operasi penangkapan yang dilakukan, tujuh orang berhasil diamankan beserta barang bukti benih lobster yang diperkirakan bernilai fantastis mencapai Rp 9,2 miliar.

Modus operandi yang digunakan sindikat ini terbilang rapi. Benih lobster dikemas dalam kantong plastik berisi oksigen, kemudian dimasukkan ke dalam koper. Untuk mengelabui petugas, koper-koper tersebut dilapisi kardus dan kain, seolah-olah berisi barang lain. Tujuannya adalah mengirim benih lobster secara ilegal ke Batam, Kepulauan Riau, sebelum diselundupkan ke luar negeri.

Berikut rincian peran masing-masing tersangka:

  • RK: Petugas keamanan bandara yang bertugas meloloskan tiga koli barang berisi tiga koper BBL. Imbalan yang diterimanya adalah Rp 4 juta per koper.
  • AH: Koordinator yang bertugas berkomunikasi dengan RK dan mengantarkan benih lobster ke bandara. Upah yang diterimanya adalah Rp 1 juta per koper.
  • JS: Bertugas meloloskan barang melalui mesin X-Ray dengan imbalan Rp 4 juta per koper.
  • DS: Bertugas mengurus Surat Muat Udara (SMU) dengan imbalan Rp 1 juta per koper.
  • RS dan AN: Bertugas mengemas benih lobster.
  • WW: Memerintahkan AH untuk mencari petugas keamanan yang bisa diajak bekerja sama meloloskan penyelundupan.

Kapolresta Bandara Soetta, Kombes Ronald FC Sipayung, menjelaskan bahwa para tersangka melakukan tindakan tersebut untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Akibat perbuatan mereka, negara mengalami kerugian yang sangat besar. Jika dihitung dengan harga jual benih lobster sebesar Rp 54 ribu per ekor, kerugian negara mencapai Rp 9.281.520.000.

Saat ini, seluruh tersangka telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Mereka akan dijerat dengan pasal berlapis, yaitu Pasal 92 Jo Pasal 26 Ayat (1) Undang-Undang (UU) RI Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU, Pasal 88 UU RI Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan Pasal 87 juncto Pasal 34 UU RI Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan.