Megibung: Tradisi Makan Bersama di Karangasem yang Melampaui Batasan Agama

Megibung: Tradisi Makan Bersama yang Mengakar di Karangasem

Tradisi Megibung, sebuah praktik makan bersama dalam satu wadah di Karangasem, Bali, bukanlah sekadar ritual kuliner. Ia merupakan perwujudan nilai-nilai sosial, keagamaan, dan historis yang telah lestari selama berabad-abad. Lebih dari sekadar menikmati hidangan, Megibung merepresentasikan kebersamaan, persatuan, dan penghormatan terhadap leluhur. Tradisi ini, yang berakar pada masa pemerintahan Raja I Gusti Agung Anglurah Ketut Karangasem sekitar tahun 1692 Masehi, mula-mula dipraktikkan oleh prajuritnya usai peperangan di Lombok. Raja menganjurkan mereka makan bersama dalam lingkaran, sebuah tindakan yang kemudian berkembang menjadi tradisi Megibung yang kita kenal saat ini. Bukan hanya di kalangan umat Hindu, tradisi ini juga diadopsi oleh beberapa komunitas Muslim di Bali, menunjukkan fleksibilitas dan daya adaptasi yang tinggi dari tradisi ini.

Lebih dari Sekadar Santapan: Makna dan Praktik Megibung

Megibung, yang berasal dari kata "gibung" yang berarti kegiatan bersama, memiliki ciri khas tersendiri. Makanan yang disajikan merupakan masakan tradisional Bali, terutama yang berbahan dasar babi, disiapkan secara gotong royong. Hidangan tersebut disusun dalam dua wadah; naren/gibungan untuk nasi, dan karangan untuk lauk pauk yang biasanya mencakup berbagai olahan daging babi, termasuk 11 tusuk sate babi sebagai elemen penting. Delapan peserta duduk melingkar, mengikuti arah mata angin, menciptakan suasana kekeluargaan dan kesetaraan. Tradisi ini umumnya digelar dalam upacara adat dan keagamaan, seperti pernikahan, odalan di pura, ngaben, upacara tiga bulanan, dan berbagai hajatan lainnya. Sebelum acara dimulai, undangan dibagikan untuk memastikan partisipasi dan kelancaran upacara. Meskipun tidak tertulis, terdapat etika yang dipatuhi peserta, antara lain:

  • Mencuci tangan sebelum makan
  • Tidak menjatuhkan remah atau sisa makanan
  • Tidak mengambil porsi makanan orang lain
  • Tetap di tempat hingga selesai makan, meskipun sudah kenyang

Megibung dalam Konteks Ramadan: Kebersamaan di Bulan Suci

Uniknya, tradisi Megibung juga diadopsi oleh beberapa komunitas Muslim di Bali. Sebagai contoh, Festival Ramadhan Masjid Baitul Makmur di Denpasar Barat telah memasukkan Megibung sebagai bagian dari rangkaian acara mereka selama delapan tahun terakhir. Hal ini menunjukan bagaimana sebuah tradisi yang berakar kuat dalam budaya Bali dapat diterima dan diintegrasikan oleh kelompok agama yang berbeda. Dengan menu yang bervariasi dan ramah bagi semua peserta, Megibung dalam konteks Ramadan ini menjadi simbol persatuan dan kebersamaan antar umat beragama di Bali, memperkuat nilai-nilai toleransi dan saling menghormati.

Kesimpulannya, Megibung lebih dari sekadar tradisi makan bersama. Ia merupakan warisan budaya yang kaya makna, memperteguh ikatan sosial dan spiritual masyarakat Karangasem, dan bahkan telah melampaui batas-batas agama, menjadi simbol persatuan di tengah keberagaman budaya dan agama di Bali.