Mengenali Jejak Minyak Babi dalam Masakan: Mungkinkah Bagi Lidah Muslim?

Polemik penggunaan minyak babi dalam kuliner kembali mencuat setelah viralnya kasus ayam goreng di Solo. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mungkinkah seorang Muslim dapat mengenali rasa masakan yang diolah menggunakan minyak babi?

Dalam dunia kuliner, penggunaan minyak babi bukanlah hal yang baru. Chef Stefu Santoso menjelaskan bahwa dalam tradisi kuliner Tiongkok, pemanfaatan lemak babi sudah dilakukan sejak lama. Lemak babi yang tebal, yang seringkali tersisa setelah pengambilan daging, diolah menjadi minyak babi (pork lard) atau digoreng kering menjadi kerupuk lemak. Minyak babi ini kemudian digunakan sebagai campuran berbagai masakan, seperti mie, untuk menambah cita rasa gurih dan aroma.

Namun, bagaimana dengan konsumen Muslim? Apakah mereka dapat mendeteksi keberadaan minyak babi dalam makanan? Chef Stefu mengakui bahwa hal ini tidaklah mudah. Bentuk minyak babi yang sudah tercampur dalam masakan seringkali sulit dikenali, berbeda dengan kerupuk lemak babi yang bentuk fisiknya masih terlihat jelas.

"Yang bisa dikenali ya rasa gurihnya. Namun rasa gurih juga bisa karena pemakaian micin, MSG, atau hal lainnya," ungkap Chef Stefu. Oleh karena itu, menurutnya, mengenali penggunaan minyak babi dalam masakan bukanlah perkara yang mudah.

Selain itu, Chef Stefu menambahkan bahwa saat ini minyak babi seringkali hanya digunakan dalam jumlah sedikit, bukan sebagai minyak utama untuk menggoreng, melainkan hanya untuk menumis. Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah harga minyak babi yang relatif mahal di pasaran. Oleh karena itu, jika sebuah masakan menggunakan minyak babi, harganya cenderung lebih tinggi.

Dengan demikian, meskipun minyak babi memiliki karakteristik rasa dan aroma yang khas, sulit untuk secara pasti mengidentifikasinya dalam masakan, terutama jika digunakan dalam jumlah kecil atau dicampur dengan bahan-bahan lain. Kewaspadaan dan kehati-hatian tetap menjadi kunci bagi konsumen Muslim dalam memilih makanan.