Eskalasi Konflik Israel-Iran: Antisipasi Dampak Ekonomi Global dan Strategi Indonesia
Eskalasi konflik antara Israel dan Iran telah memicu kekhawatiran global, terutama terkait dampaknya terhadap ekonomi dunia. Ketegangan geopolitik ini berpotensi memperburuk proyeksi pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya telah direvisi turun oleh berbagai lembaga keuangan internasional.
Sebelum konflik ini memanas, Bank Dunia telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2025 menjadi 2,3 persen, dari sebelumnya 2,7 persen. Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) juga menurunkan proyeksinya menjadi 2,9 persen dari 3,1 persen. Sementara itu, Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2025 menjadi 2,8 persen dari 3,3 persen. Faktor utama yang mendasari revisi ini adalah ketidakpastian perdagangan global yang dipicu oleh kebijakan tarif.
Kini, dengan meningkatnya ketegangan antara Israel dan Iran, proyeksi pertumbuhan ekonomi global berpotensi mengalami penurunan lebih lanjut. Dampak langsung dari konflik ini adalah potensi kenaikan harga komoditas, terutama energi dan pangan. Terganggunya pasokan minyak dari Timur Tengah dapat mendorong harga minyak dunia melonjak.
Kenaikan harga minyak akan berdampak luas bagi berbagai sektor ekonomi. IMF memperkirakan bahwa setiap kenaikan 10 persen harga minyak dunia dapat meningkatkan inflasi global sebesar 0,4 persen. Lonjakan inflasi dapat mendorong negara-negara untuk memperketat kebijakan fiskal dan moneter guna meredam laju inflasi.
Bank sentral Amerika Serikat (The Fed) berpotensi mempertahankan suku bunga acuan atau bahkan menaikkannya untuk mengendalikan inflasi. Langkah ini dapat memperkuat nilai tukar dolar AS dan menekan mata uang negara lain, yang berimplikasi pada ekonomi domestik masing-masing negara.
Langkah Antisipasi Indonesia
Menghadapi situasi ini, Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk memitigasi dampak negatif dari konflik Israel-Iran terhadap perekonomian nasional. Beberapa langkah yang dapat dipertimbangkan:
- Evaluasi Asumsi Harga Minyak dalam APBN: Pemerintah perlu meninjau kembali asumsi harga minyak mentah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025, yang saat ini berada di level 70 dollar AS per barel. Antisipasi terhadap potensi kenaikan harga minyak dunia menjadi 72-73 dollar AS per barel perlu diperhitungkan.
- Diversifikasi Sumber Impor Minyak: Pemerintah perlu memastikan keamanan pasokan minyak dalam negeri dengan mencari sumber impor alternatif dari negara-negara lain. Upaya ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada satu wilayah dan meminimalkan risiko gangguan pasokan akibat konflik.
- Pengembangan Energi Terbarukan: Dalam jangka panjang, Indonesia perlu terus mengembangkan dan memanfaatkan energi terbarukan sebagai alternatif pengganti minyak. Investasi dalam energi terbarukan akan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan meningkatkan ketahanan energi nasional.
- Stabilisasi Nilai Tukar Rupiah: Bank Indonesia (BI) perlu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dengan melakukan intervensi pasar jika diperlukan. Cadangan devisa Indonesia yang cukup besar, sebesar 152,5 miliar dollar AS pada Mei 2025, dapat digunakan untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dan mencegah spekulasi yang berlebihan.
- Perluasan Kerja Sama LCS: Kebijakan kerja sama penggunaan mata uang lokal dalam pembayaran internasional (Local Currency Settlement/LCS) perlu diperluas. Langkah ini akan mengurangi ketergantungan pada dolar AS dalam transaksi perdagangan internasional dan memperkuat ketahanan nilai tukar rupiah.
- Insentif DHE SDA: Pemerintah perlu melanjutkan kebijakan penempatan devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam (SDA) di dalam negeri. Langkah ini akan memperkuat cadangan devisa dan meningkatkan stabilitas ekonomi nasional.
Dengan mengambil langkah-langkah antisipasi yang tepat, Indonesia dapat meminimalkan dampak negatif dari konflik Israel-Iran terhadap perekonomian nasional dan menjaga stabilitas ekonomi makro.