Kelas Menengah Terjepit: Antara Beban Pajak dan Harapan Insentif
Gelombang perlambatan ekonomi Indonesia menghantam sebuah kelompok masyarakat yang selama ini menjadi tulang punggung negara: kelas menengah. Di tengah himpitan biaya hidup yang terus meningkat, mereka berjuang untuk memenuhi kewajiban pajak, membayar cicilan rumah, membiayai pendidikan anak, dan menabung demi masa depan. Pertanyaannya, apakah negara menyadari peran vital kelas menengah dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional?
Kelas menengah adalah penggerak utama konsumsi domestik. Namun, daya beli mereka kini tergerus oleh kenaikan harga kebutuhan pokok, biaya pendidikan yang melambung tinggi, dan beban pajak yang terasa semakin berat. Sementara itu, kebijakan pemerintah cenderung fokus pada perlindungan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan penagihan pajak dari kelompok berpenghasilan tinggi, seolah mengabaikan nasib kelas menengah.
Tekanan Ganda: Ekonomi dan Kebijakan
Proyeksi Bank Dunia menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melambat dalam beberapa tahun mendatang, sebagian besar disebabkan oleh melemahnya daya beli masyarakat. Kelas menengah, yang selama ini menjadi andalan konsumsi nasional, kini menghadapi tekanan biaya hidup yang semakin meningkat dan kebijakan fiskal yang kurang berpihak.
Data menunjukkan bahwa biaya pendidikan mengalami inflasi yang signifikan setiap tahunnya. Sementara itu, inflasi pada sektor transportasi dan makanan juga terus meningkat. Di sisi lain, kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) justru mengalami penurunan.
Sistem pajak yang berlaku saat ini juga dinilai kurang adil. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang rendah menyebabkan banyak masyarakat kelas menengah langsung dikenakan pajak, meskipun sebagian besar penghasilan mereka digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Selain itu, tidak ada pengurangan pajak untuk biaya pendidikan anak atau premi kesehatan, yang merupakan beban besar bagi keluarga kelas menengah.
Reformasi Pajak dan Insentif Sosial: Solusi yang Mendesak
Sudah saatnya pemerintah memberikan keringanan fiskal bagi kelas menengah melalui reformasi pajak yang lebih adil dan berpihak. Langkah-langkah yang dapat dipertimbangkan antara lain:
- Menaikkan ambang batas PTKP untuk individu dan keluarga.
- Memperbolehkan pengurangan pajak untuk biaya pendidikan dan kesehatan.
- Menyesuaikan tarif Pajak Penghasilan (PPh) 21 untuk kelompok penghasilan menengah.
- Menerapkan skema poin pajak bagi wajib pajak yang patuh.
Selain reformasi pajak, pemerintah juga perlu memperkuat daya beli kelas menengah melalui insentif produktif. Misalnya, program yang mendorong kelas menengah untuk menjadi konsumen utama dan investor mikro bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) lokal. Program pelatihan keterampilan juga penting untuk meningkatkan pendapatan dan mobilitas vertikal kelas menengah.
Dampak Jangka Panjang: Stabilitas Ekonomi dan Sosial
Memberikan ruang fiskal dan produktif bagi kelas menengah bukan hanya soal keadilan, tetapi juga soal keberlanjutan ekonomi nasional. Kenaikan pendapatan kelas menengah akan mendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga, yang pada gilirannya akan berdampak positif pada sektor ritel, properti, pendidikan, dan UMKM.
Pengurangan pajak bagi kelas menengah dapat dikompensasi dengan optimalisasi pajak digital, perluasan basis pajak, dan pengenaan pajak kekayaan bagi kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi. Yang terpenting, ketika kelas menengah merasa bahwa sistem fiskal adil dan memberikan manfaat langsung, kepercayaan publik terhadap negara akan meningkat.
Kelas menengah adalah jembatan antara ekonomi rakyat dan ekonomi korporasi. Mereka menggerakkan konsumsi, membayar pajak, menyekolahkan anak, dan menabung untuk masa depan. Melemahnya daya beli mereka akan menggoyahkan seluruh sendi ekonomi. Oleh karena itu, reformasi pajak yang berpihak dan program sosial-ekonomi inklusif bukan sekadar opsi, tetapi keharusan.
Negara harus hadir untuk memberikan dukungan nyata kepada kelas menengah, yang selama ini telah menjadi penopang utama pembangunan. Mereka tidak meminta dikasihani, tetapi hanya ingin diberi ruang untuk bernapas. Jika tidak, yang menopang justru bisa tumbang.